I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan untuk
daerah otonom (daerah Kabupaten dan Kota) untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 22
tahun 1999). Keluarnya undang-undang tersebut membawa implikasi yang luas
terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang pihak penyelenggara pemerintah
Kabupaten dan Kota (eksekutif dan legislatif). Di satu sisi, pihak eksekutif
sebagai pelaksana kebijakan akan memiliki tugas dan wewenang yang semakin
besar. Di sisi lain, pihak legislatif (DPRD) dituntut untuk mengoptimalkan
pengawasan pelaksanaan kebijakan oleh eksekutif.
Beberapa kekhawatiran yang
berkembang di masyarakat sebagai akibat dari kebijakan otonomi daerah, antara
lain adalah munculnya raja-raja kecil di daerah, pemindahan korupsi dari pusat
ke daerah, dan DPRD akan bertindak sebagai wasit ‘tegas’ yang sewaktu-waktu
dapat menjatuhkan Bupati/Walikota. Indikasi ke arah tersebut telah ditemukan
oleh Suryadharma, dkk (2002), yang menunjukkan bahwa pihak Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota menginginkan kekuasaan yang lebih luas daripada yang ditetapkan
undang-undang. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999,
pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 25 tahun 2000. PP No. 25 tahun 2000, Bab
II, pasal 2 mengaturtugas dan wewenang desentralisasi bidang kesehatan pada
daerah provinsi sebagai daerah otonom. Selanjutnya, Surat Edaran Menteri
Kesehatan No. 1107/Menkes/E/VII/2000 mengatur tugas dan wewenang dekonsentrasi
bidang kesehatan pada daerah provinsi sebagai wilayah administrasi dan daerah
Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom.
Salah satu hal yang menonjol dari
desentralisasi bidang kesehatan seperti yang digariskan dalam UU No. 22 tahun
1999 dan PP No.25 tahun 2000 adalah pemberian tugas dan wewenang yang sangat
besar kepada daerah (Tabel 1). Hal yang menarik lagi adalah pemerintah pusat
masih memilki wewenang yang besar yang didekonsentrasikan melalui pemerintah
daerah provinsi sebagai perpanjangan tangan (Tabel 2).
Desentralisasi pembangunan
kesehatan dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan pembangunan bidang kesehatan
dengan cara lebih mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan
sistem desentralistik diharapkan program pembangunan kesehatan lebih efektif
dan efisien serta menyentuh kepada kebutuhan kesehatan riil masyarakat. Hal ini
dimungkinkan karena dengan sistem desentralistik rantai birokrasi akan
diperpendek. Selain itu, sistem desentralistik juga memberi kewenangan bagi
daerah untuk menentukan sendiri program serta pengalokasian dana pembangunan
kesehatan di daerahnya. Hal ini berbeda dengan sistem sentralistik yang mekanisme
penyusunan program dan pengalokasian dana pembangunannya yang top-down. Secara
tidak langsung sistem sentralistik menganggap masalah kesehatan di seluruh
Indonesia sama, padahal kenyataannya tidak dan bahkan sangat berbeda dari
daerah yang satu ke daerah lain. Dengan sistem desentralisasik diharapkan
pembangunan kesehatan dilakukan dengan mempertimbangkan masalah dan kebutuhan
kesehatan dan potensi setempat. Dengan sistem desentralistik, juga, diharapkan
adanya keterlibatan masyarakat (community involvement) yang besar dalam
pembangunan kesehatan di daerahnya. Dengan cara ini masyarakat tidak lagi
sebagai objek pembangunan tetapi akan berperan sebagai subjek pembangunan.
Hakikat desentralisasi kesehatan
ini juga sesuai dengan paradigma sehat yang ditetapkan sebagai model
pembangunan kesehatan di Indonesia, yaitu pembangunan kesehatan yang
mengutamakan upaya-upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan upaya-upaya
kuratif dan rehabilitatif (Depkes, 2001). Paradigma sehat merupakan modal
pembangunan kesehatan yang dalam jangka panjang akan mampu mendorong masyarakat
untuk bersikap dan bertindak mandiri dalam menjaga kesehatannya sendiri melalui
kesadaran terhadap pentingnya upaya-upaya kesehatan yang bersifat promotif dan
preventif.
Salah satu misi pembangunan
kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012 adalah mendorong kemandirian masyarakat
untuk hidup sehat. Untuk dapat terselenggaranya misi tersebut ditetapkanlah
empat strategi pembangunan kesehatan, yaitu pembangunan berwawasan kesehatan,
profesionalisme, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan desentralisasi (Depkes,
1999). Oleh karena itu, untuk menjamin terlaksananya pembangunan kesehatan yang
digariskan dalam kebijakan desentralisasi, paradigma sehat, dan Indonesia Sehat
2012, semua kebijakan pembangunan yang sedang dan atau akan ditetapkan
hendaknya memiliki wawasan kesehatan. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya agar
semua penentu kebijakan memahami hakikat pembangunan berwawasan kesehatan.
Selain itu perlu dilakukanpenjabaran konsep tersebut ke dalam operasionalnya
berupa sistem kesehatan serta dirumuskan indikator dan ukuran-ukuran untuk
menilainya.
1.2 Permasalahan
Seperti telah disebutkan
sebelumnya, adanya kebijakan desentralisasi dalam bidang kesehatan akan membawa
implikasi yang luas, terutama, terhadap pemerintah daerah sebagai pelaksana
kebijakan dan terhadap masyarakat sebagai pelaku pembangunan dan yang akan
merasakan hasil pembangunan. Implikasi tersebut tidak saja positif tetapi juga,
mungkin, negatif. Hal ini dapat dimengerti karena, di satu sisi, selama ini
pihak pelaksana pembangunan kesehatan di daerah (Dinas Kesehatan Kabupaten dan
Kota) sudah terbiasa dengan kebijakan yang digariskan secara top-down.
Sementara itu, mereka tidak terbiasa menyusun program kesehatan yang sesuai
dengan kebutuhan dan potensi setempat. Di sisi lain, masyarakat yang selama ini
dianggap sebagai objek pembangunan, dengan adanya desentralisasi kesehatan,
akan turut serta menenetukan apa yang menurut mereka baik dan sesuai untuk
dilakukan. Hal ini tidak mudah, tidak saja karena selama ini masyarakat jarang
dilibatkan dalam setiap program pembangunan, tetapi juga adanya ‘stigmatisasi
negatif’ masyarakat terhadap pemerintah, yang menyebabkan mereka sulit untuk
dilibatkan.
Berdasarkan uraian di atas
beberapa hal yang patut dikaji dalam upaya meningkatkan kesiapan daerah dalam
melaksanakan pembangunan kesehatan pada era desentralisasi kesehatan adalah:
1. Dampak desentralisasi
kesehatan terhadap pelaksanaan program kesehatan di daerah oleh penyelenggara
pemerintaan di Kabupaten/Kota.
2. Bagaimana meningkatkan
kesiapan masyarakat untuk turut serta mendukung kebijakan desentralisasi
kesehatan?
3. Bagimana kesiapan sarana dan
prasarana daerah Kabupaten/Kota untuk mendukung kebijakan desentralisasi
kesehatan?
4. Apakah penyusunan program
pembangunan kesehatan daerah mempertimbangkan potensi sumberdaya manusia dan
sumberdaya alam daerah?
Gambar 1. Perubahan
paradigma pembangunan kesehatan
1.3 Tujuan
Menyadari bahwa berhasilnya
pelaksanaan desentralisasi pembangunan kesehatan sangat bergantung pada
kesiapan (dalam arti luas) daerah sebagai daerah otonom, maka penulis, melalui
makalah ini, menguraikan sumbangan pemikiran mengenai beberapa (sebagian) upaya
yang perlu dilakukan oleh penyelenggara pemerintah dan masyarakat daerah untuk
menghadapi era desentralisasi pembangunan kesehatan. Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai bagaimana penyelenggara pemerintah daerah memahami hakikat desentralisasi
kesehatan, bagaimana menentukan skala prioritas, bagaimana menganalisis potensi
setempat, bagaimana melibatkan masyarakat, bagaimana mengoptimalkan sarana dan prasarana
yang ada, dan bagaimana melibatkan sektor (instansi) lain dalam pembangunan kesehatan
di daerah. Pembahasan akan dimulai dari tinjauan kepustakaan mengenai kebijakan
desentralisasi pembangunan bidang kesehatan (terutama mengenai tugas, wewenang,
dan peran daerah), konsep paradigma sehat, dan visi, misi, dan kebijakan
pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012
II.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Pengertian Desentralisasi
Desentralisasi dalam arti umum
didefinisikan sebagai pemindahan kewenangan, atau pembagian kekuasaan dalam
perencanaan pemerintahan, manajemen dan pengambilan keputusan dari tingkat
nasional ke tingkat daerah (Rondinelli, 1981). Secara lebih umum desentralisasi
didefinisikan sebagai pemindahan kewenangan, kekuasaan, perencanaan pemerintahan,
dan pengambilan keputusan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi ke tingkat
yang lebih rendah (Mills, dkk, 1989).
Dalam prakteknya, terdapat empat
jenis desentralisasi yang umum dijumpai, yaitu dekonsentrasi, devolusi,
delegasi, dan privatisasi (Rondinelli, 1983). Istilah dekonsentrasi dipakai
untuk menggambarkan pemindahan beberapa kekuasaan administratif ke kantor-kantor
daerah dari pemerintah pusat. Dalam prakteknya, sebelum era otonomi daerah, Indonesia
sudah menerapkan dekonsentrasi, yaitu dengan adanya Kantor Wilayah Departemen di
provinsi. Karena dekonsentrasi melibatkan pemindahan fungsi administratif,
bukan fungsi politis, maka dekonsentrasi merupakan bentuk desentralisasi yang
paling lemah. Dalam hal ini, Kantor Wilayah Deparetemen hanya merupakan
perpanjangan tangan pemerintah pusat, karena secara riil tanggung jawab
pemerintahan tetap berada pada pemerintah pusat.
Devolusi merupakan kebijakan
untuk membentuk atau memperkuat pemerintahan tingkat sub-nasional (pemerintah
daerah) yang benar-benar independen dari tingkat pusat dalam beberapa fungsi
secara jelas. Otoritas daerah mempunyai status hukum yang jelas, sejumlah
fungsi yang harus dikerjakan, dan kewenangan untuk mencari sumber pembiayaan serta
pembelanjaannya. Pemerintah Indonesia, secara ’setengah hati’ telah
mempraktekkan devolusi, yaitu dengan adanya Kantor Dinas di Kabupaten/Kota.
Walaupun pihak Dinas Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk mencari sumber dana
sendiri, namun dalam prakteknya bagian terbesar pembiayaannya masih berasal
dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat, secara kuat, masih memegang kewenangan
dalam hal penentuan kebijakan pembangunan di daerah.
Delegasi berkaitan dengan
pemindahan tanggungjawab manajerial untuk tugas-tugas tertentu ke
organisasi-organisasi tertentu di luar stuktur pemerintah pusat, tetapi pelaksanaannya,
secara tidak langsung, masih dikontrol pemerintah pusat. Pemerintah pusat memandang
pendelegasian tanggungjawab sebagai suatu cara untuk menghindari ketidakefisienan
pengelolaan, penghematan biaya pengawasan, dan untuk menyusun suatu organisasi
yang responsif dan luwes. Tanggungjawab terakhir masih di tangan pemerintah pusat,
tetapi pelaksananya mempunyai kewenangan luas untuk melaksanakan tugas-tugas kewenangan
dan kewajiban yang sudah ditentukan. Pengadaan dokter pegawai tidak (dokter
PTT) adalah contoh delegasi di Indonesia. Pengadaan dokter PTT merupakan kebijakan
pemerintah pusat (termasuk penggajian), sedangkan pengelolaannya (penugasan) merupakan
wewenang pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan.
Privatisasi merupakan pemindahan
tugas-tugas pengelolaan ke organisasi-organisasi sukarelawan atau perusahaan
privat, baik yang mencari untung maupun tidak. Dalam bidang kesehatan, beberapa
jenis pelayanan telah diserahkan kepada perusahaan swasata, seperti pengelolaan
Rumah Sakit dan perusahaan farmasi. Namun penting untuk diketahui bahwa privatisasi
tidak membuat pemerintah lepas beban dari pengelolaan pelayanan kesehatan.
Sebuah badan pengatur (misalnya
Badan Pengawasan Obat dan Makanan) dibutuhkan untuk mengawasi penyediaan dan
mutu obat dan makanan.
Perbedaan antara keempat jenis
desentralisasi tersebut di atas pada prinsipnya berdasar atas status hukumnya
(Mills, dkk, 1989). Selanjutnya, salah satu jenis desentralisasi di negara tertentu
dapat lebih menonjol daripada jenis yang lainnya, atau bahkan saling tumpang
tindih.
2.2 Desentralisasi Sistem Kesehatan di Indonesia
Desentralisasi kesehatan di Indonesia
secara lebih jelas dilakasanakan setelah dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999,
PP No. 25 tahun 2000, serta SE Menkes No. 1107/Menkes/E/VII/2000. UU No. 22
tahun 1999 pasal 1 ayat h menyebutkan “otonomi daerah adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat (termasuk
bidang kesehatan), menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Menurut aturan perundang-undangan
dan dalam prakteknya, desentralisasi bidang kesehatan di Indonesia menganut
semua jenis desentralisasi (dekonsentrasi, devolusi, delegasi, dan
privatisasi). Hal ini terlihat dari masih adanya kewenangan pemerintah pusat
yang didekonsentrasikan di daerah provinsi melalui Dinas Kesehatan Provinsi.
Selain itu, berdasarkan SE Menkes/E/VII/2000 disebutkan beberapa tugas yang
mungkin tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dapat
diserahkan ke tingkat yang lebih tinggi.
Upaya privatisasi pelayanan
kesehatan dan perusahaan pendukung pelayanan kesehatan juga sedang giat
dilakukan.
Kandungan makna substansial dari
desentralisasi adalah bagaimana menyejahterakan dan menciptakan keadilan bagi
kehidupan masyarakat di daerah (Tagela, 2001). Selanjutnya, Simangunsong (2001)
mengatakan bahwa inti dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya
keluwesan pemerintah daerah untuk melaksanakanan pemerintahan sendiri atas prakarsa,
kreativitas, dan peran serta masyarakat dalam mengembangkan dan memajukan daerahnya.
Dalam bidang kesehatan, implikasi desentralisasi pembangunan kesehatan, antara lain,
adalah sebagai berikut: 1) Terwujudnya pembangunan kesehatan yang demokratis
yang berdasarkan atas aspirasi masyarakat. 2) Pemerataan pembangunan dan
pelayanan kesehatan, 3) Optimalisasi potensi pembangunan kesehatan di daerah
yang selama ini belum tergarap, 4) Memacu sikap inisiatif dan kreatif aparatur
pemerintah daerah yang selama ini hanya mengacu pada petunjuk atasan, 5)
Menumbuhkembangkan pola kemandirian pelayanan kesehatan (termasuk pembiayaan
kesehatan) tanpa mengabaikan peran serta sektor lain. Kesemuanya ini bermuara
pada peneingkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.
2.3 Fungsi dan Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota
dalam Desentralisasi Kesehatan
Kewenangan Desentralisasi
Kesehatan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota diatur melalui PP No. 25 tahun
2000 pasal 2 No. 10 bidang kesehatan. Selanjutnya, kewenangan desentralisasi
dan dekonsentrasi daerah Kabupaten/Kota dijabarkan dalam SE No. 1107/Menkes/E/VII/2000.
Tabel 1 dan Tabel 2, berturut-turut, memuat kewenangan dekonsentrasi dan
desentralisasi Provinsi dan kewenangan desentralisasi daerah Kabupaten/Kota.
Selanjutnya, berdasarkan PP No.
25 tahun 2000 pasal 3 ayat 3 disebutkan selain kewenangan yang dimaksud dalam
pasal 1 dan pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota,
Provinsi dapat melaksanakan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan
oleh Kabupaten/Kota. Ayat 4 menyebutkan kewenangan Kabupaten/Kota pada bidang
tertentu dan bagian tertentu dari kewenangan wajib dapat dilaksanakan oleh
Provinsi dengan kesepekatan antar Kabupate/Kota dan Provinsi. Pasal 3 ayat 3
dan 4 ini memberi peluang pada bertambahnya kewenangan Provinsi atau
berkurangnya kewenangan Kabupaten/Kota, tergantung kepada kesiapan sumberdaya
Kabupaten/Kota.
TABEL 1. Fungsi dan Kewenangan Desentralisasi dan Dekonsentrasi Kesehatan Prov
Sumber: 1. PP No. 25 tahun 2000 pasal 2 No. 10 Bidang
Keehatan
2. SE No. 1107/Menkes/E/VII/2000
TABEL 2. Fungsi dan Kewenangan Minimal Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota
Sumber: SE No. 1107/Menkes/E/VII/2000
2.4 Desentralisasi Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2012
Dalam konstitusi Organisasi
Kesehatan Sedunia (WHO) tahun 1948 disepakati, antara lain, bahwa diperolehnya
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak yang fundamental
bagi setiap orang tanpa membedakan ras, agama, politik yang dianut, dan tingkat
sosial ekonominya. Inilah salah satu yang menjiwai penyusunan pembangunan
kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012 yang berdasarkan atas perikemanusiaan,
pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, dan pengutamaan manfaat.
Sementara itu, isu strategis bidang kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012
adalah kerja sama lintas sektor, pemberdayaan masyarakat, mutu dan
keterjangkauan pelayanan kesehatan, dan sumber daya pembiayaan kesehatan. Untuk
dapat mencapai tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012
beberapa kebijakan strategi yang ditempuh, antara lain, adalah peningkatan
kerjasama lintas sektor, peningkatan perilaku, pemberdayaan masyarakat dan
kemitraan swasta, peningkatan upaya kesehatan, dan peningkatan sumber daya
kesehatan (Depkes, 1999).
Visi pembangunan kesehatan menuju
Indonesia Sehat 2012 adalah masyarakat, bangsa, dan negara yang ditandai dengan
oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku hidup sehat, memiliki
kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan
merata, serta memiliki derajat kesehatan setinggi-tingginya diseluruh Indonesia.
Sementara itu, salah satu misi pembangunan kesehatan adalah mendorong kemandirian
masyarakat untuk hidup sehat (Depkes, 1999).
Bila dikaitkan dengan visi dan
misi pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012, maka kebijakan
desentralisasi dapat dianggap sebagai upaya percepatan menunju cita-cita tersebut,
karena hakikat dari desentralisasi pembangunan kesehatan adalah tersedianya pelayanan
kesehatan secara adil dan merata bagi seluruh warga negara. Hal tersebut dimungkinkan
karena daerah diberi keluwesan untuk mengurus kesehatan daerahnya. Program pembangunan
kesehatan tidak lagi top-down tetapi benar-benar berasal dari aspirasi masyarakat
(daerah). Dengan desentralisasi, daerah memiliki kewenangan menyusun sistim kesehatannya
sendiri, menentukan anggaran pembangunan kesehatan, memilih prioritas pembangunan,
mendayagunakan sumber daya kesehatan, menentukan tarif pelayanan kesehatan, dan
membuat kebijakan sistem pembiayaan kesehatan di daerahnya.
III.
KENDALA DALAM PELAKSANAAN
DESENTRALISASI KESEHATAN
Harus diakui bahwa melaksanakan sesuatu
yang relatif baru tentu akan berhadapan dengan berbagai kendala, yang
penyelesaiannya membutuhkan waktu yang relatif lama. Salah satu hal yang dapat
menghambat pelaksnaan desentralisasi adalah perubahan yang dramatis terhadap
birokrasi pemerintahan di daerah. Selama ini masyarakat memandang birokrasi sebagai
suatu proses panjang dan berbelit-belit, apabila masyarakat akan menyelesaikan
suatu urusan dengan aparatur pemerintah (Widjaya, 2002). Arus desentralisasi
semakin menuntut perobahan ‘radikal’ dalam kinerja birokrasi aparatur
pemerintahan. Hal ini merupakan kendala, karena peroses perobahannya memerlukan
waktu lama dan kemauan kuat dari aparatur pemerintah (termasuk perubahan mental
birokrat) yang selama ini sudah ‘mapan’.
Menurut Tagela (2001), beberapa
kendala umum yang dihadapi daerah (Kabupaten/Kota) dalam melaksanakan
desentralisasi adalah terbatasnya sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
manajemen, sumber daya alam, pendapatan asli daerah, dan mental aparatur yang
sudah terbiasa dengan mengikuti petunjuk atasan. Disamping itu, dari sisi
masyarakat, posisi masyarakat yang selama ini menjadi objek pembangunan
merupakan kendala juga, karena dalam era desentralisasi mereka dituntut untuk
banyak terlibat dalam perencanaan dan penyusunan program pembangunan di daerah.
Dalam bidang kesehatan,
berdasarkan fungsi dan kewenangan daerah Kabupaten /Kota, kesiapan daerah, baik
dari pihak penyelenggara pemerintahan (ekesekutif dan legislatif) maupun dari
pihak masyarakat, sangat dituntut. Sebagai contoh, pemerintah daerah diharapkan
untuk menyusun sistim kesehatan, merencanakan pembangunan kesehatan, melakukan bimbingan
dan pengendalian upaya kesehatan, dan pengembangan kerjasama lintas sektor (lintas
instansi). Selain itu, pemerintah daerah dituntut untuk mengoptimalkan seluruh
potensi yang ada di daerah dan sedapat mungkin melibatkan masyarakat dalam
setiap perencanaan dan penyusunan program pembangunan kesehatan di daerah. Hal
ini tidak mudah dilakukan, karena selama ini daerah sudah dininabobokan oleh
kebijakan yang ditetapkan dari pusat.
Pihak DPRD diharapkan dapat
menghasilkan peraturan daerah yang memberi iklim kondusif terhadap pembangunan
kesehatan di daerah. Kebiasaan ego-sektoral yang selama ini terjadi juga
merupakan kendala dalam pelaksanaan desentralisasi kesehatan, karena
pembangunan kesehatan hanya dapat berhasil jika terdapat kerjasama lintas
sektor yang baik. Hal ini sesuai dengan misi Indonesia Sehat 2012.
IV.
UPAYA MENINGKATKAN KESIAPAN DAERAH
Keberhasilan pelaksanaan
desentralisasi kesehatan tergantung pada kesiapan daerah untuk dapat
mengimplementasikannya. Berdasarkan fungsi dan kewenangan yang dimiliki Kabupaten/Kota
dan visi dan misi pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012, ada tiga
elemen masyarakat pokok di daerah yang dituntut kesiapannya dalam memahami
hakikat dan tujuan desentralisasi kesehatan sehingga pelaksanaannya di daerah
dapat berjalan sesuai dengan harapan. Ketiga elemen tersebut adalah a) Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota (pihak eksekutif), b) DPRD Kabupaten/Kota (pihak
legislatif), dan c) masyarakat. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk lebih
menyiapkan daerah dalam menghadapi dan melaksanakan desentralisasi kesehatan
diuraikan berikut ini.
4.1 Dinas Kesehatan Kabupaten Kota
Hal pertama yang perlu dipahamai
oleh pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota beserta jajarannya adalah memahami
hakekat dan tujuan kebijakan desentraslisasi kesehatan dan mengintegrasikannya
dengan visi dan misi pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012. Selain
itu, hal lain yang sama pentingnya adalah pemahaman dan fungsi, tugas, dan
wewenang Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh peraturan, serta kewenangan
pihak instansi yang lebih tinggi (Provinsi dan Pusat). Hal ini diperlukan untuk
menghindari kemungkinan adanya saling tidak pengertian antara pemerintah
Kabupaten/Kota dengan pemerintah Provinsi dan Pusat. Untuk tujuan ini
pemerintah daerah bersama-sama dengan pihak DPRD dapat menyelenggarakan sebuah
seminar atau sejenis pelatihan bekenaan dengan fungsi, tugas, dan wewenang
daerah untuk menyamakan persepsi mereka terhadap desentralisasi kesehatan.
Bekenaan dengan pelaksanaan
desentralisasi kesehatan, pihak Pemerintah Daerah, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, dan DPRD perlu melaksanakan hal-hal, antara lain, sebagai berikut:
a. Menetapkan Sistem Kesehatan Daerah
Menurut Hartono (2001), sistem
kesehatan adalah semua kegiatan yang secara bersama-sama diarahkan untuk
mencapai tujuan utama berupa peningkatan dan pemeliharaan kesehatan. Tujuan
pokok penetapan sistem kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat,
merespon harapan-harapan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan harga diri dan
hak azasinya, dan memberikan perlindungan finansial terhadap kemungkinan dikeluarkannya
biaya pelayanan kesehatan. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem kesehatan memiliki
empat fungsi, yaitu pelayanan kesehatan, pembiayaan kesehatan, pengembangan sumber
daya kesehatan, dan pengawasan dan pengarahan pembangunan dan pelayanan kesehatan.
Penetapan sistem kesehatan dapat
dilakukan, salah satunya, dengan menempatkan bidang kesehatan sebagai salah
satu ‘pilar’ pembangunan daerah. Hal ini dilakukan, tentunya, dengan melihat
potensi dan prioritas masalah di daerah. Penempatan bidang kesehatan sebagai salah
satu pilar pembangunan daerah membawa konsekuensi luas terhadap kebijakan pembangunan
di daerah. Semua program pembangunan sedapat mungkin diarahkan untuk mendukung
program kesehatan. Konsekuensi lain adalah perlunya peningkatan yang signifikan
alokasi biaya pembangunan kesehatan dalam Rancangan Anggaran Pembangunan Daerah.
Dalam Sistem Kesehatan daerah juga harus ditetapkan visi dan misi pembangunan kesehatan
daerah, yang dapat menunjang dan mendukung visi dan misi pembangunan kesehatan
nasional. Visi dan misi ini selanjutnya dimasukkan dalam rencana strategis pembangunan
kesehatan daerah.
Pihak perencana program dituntut kepekaannya untuk
menangkap setiap peluang untuk melakukan perubahan (seizing the opportunity for
change) (IVACG, 1992) berdasarkan potensi setempat dan masalah untuk dapat
digunakan sebagai dasar penentuan prioritas pembangunan.
b. Menata Ulang Struktur Organisasi Kesehatan Dinas
Kesehatan
Struktur organisasi yang selama ini dianut sudah
sangat terbiasa dengan pola sentralistik, sehingga untuk lebih akomodatif dan tanggap
terhadap perubahan yang relatif sangat berbeda perlu dilakukan penyegaran
strukturnya. Dianjurkan untuk pembentukan Sub Dinas baru (sesuai dengan
kebutuhan, dan kondisi setempat), misalnya Sub Dinas Penelitian dan
Pengembangan. Sub Dinas ini nantinya akan membawahi Seksi Sistem Informasi Kesehatan.
c. Menyusun Program Pembangunan secara Bottom-Up
Setelah pihak Kabupaten/Kota
menetapakan sistem kesehatan daerahnya, maka hal yang segera perlu dilakukan
adalah merencanakan dan menyusun program pembangunan kesehatan secara
bottom-up. Dinas Kesehatan diberi kewenangan yang sangat luas untuk merencanakan
dan menyususn programnya. Dalam menyusun program kesehatan ini, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota harus memperhatikan hal-hal berikut:
i. Memilih/menentukan program
kesehatan yang sesuai dengan kondisi riil masyarakat setempat (melakukan
identifikasi masalah secara akurat). Hal ini didukung oleh penentuan skala
prioritas pembangunan.
ii. Melakukan analisis SWOT
(Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats) untuk mengidentifikasi dan
mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman daerah. Analisis SWOT
adalah indentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi
program pembangunan (Rangkuti, 2002). Analisis ini didasarkan pada logika yang
dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan dan ancaman. Dengan demikian para perencana strategik harus
menganalisis faktor-faktor strategis daerah (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman)
pada kondisi saat ini. Beberapa faktor strategis yang harus dipertimbangkan, antara
lain, adalah sumber daya (alam, manusia), sarana dan prasarana (RS, Puskesmas, Puskesmas
Pembantu, Posyandu, dan lain-lain), kondisi geografis, sarana transportasi, jumlah
penduduk, dan budaya masyarakat.
iii. Mengoptimalkan potensi
daerah, melalui pemanfaatan secara bijaksana sumber daya lokal untuk mendukung
pembangunan kesehatan. Menjajaki kemungkinan pemanfaatan pengobatan
tradisional, adalah contoh optimalisasi potensi daerah.
d. Menumbuhkan Mental Proaktif
Sudah saatnya pihak Dinas
Kesehatan melakukan upaya-upaya pembangunan secara proaktif tanpa menunggu
petunjuk dari atasan. Budaya Asal Bapak Senang sudah saatnya ditinggalkan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain, adalah:
i. Proaktif mengembangkan dan menghasilkan ide-ide
dan berpikir secara sistem (system thinking),
ii. proaktif mencari sumber dana pembangunan
kesehatan,
iii. proaktif mengundang investor bidang kesehatan,
dan
iv. proaktif melakukan kerjasama dengan
lembaga-lembaga donor nasional dan internasional.
e. Mengembangkan Sitsem Informasi Kesehatan Daerah
Setiap program yang direncanakan
dan disusun harus didukung oleh data yang akurat dan mutakhir. Selama ini,
kebanyakan data yang dilaporkan disesuaikan dengan keinginan pihak yang dilapor
(atasan) sehingga data yang ada tidak mencerminkan kondisi sebenarnya di lapangan.
Oleh karena itu, langkah yang penting diambil adalah pengumpulan data yang akurat
dan mutakhir tentang situasi kesehatan daerah dan faktor-faktor pendukungnya.
Hal tersebut dapat dialakukan
dengan merevitalisasi dan menata kembali peran sistem informasi kesehatan yang
selama ini kurang berjalan dengan baik. Pembentukan seksi penelitian dan
pengembangan juga merupakan salah satu alternatif untuk pengadaan data yang akurat
untuk tujuan penyusunan program kesehatan daerah.
f. Menjalin Kerjasama dengan Lembaga-lembaga Ilmiah
dan Pendidikan Kesehatan
Pihak Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota juga dituntut untuk lebih proaktif menjalin kerjasama dengan
lembaga-lembaga ilmiah dan pendidikan yang terkait dengan kesehatan. Sebagai
contoh, selama ini tenaga dokter spesialis enggan bertugas di daerah. Namun hal
ini dapat diatasi dengan melakukan kerjasama dengan pihak perguruan tinggi
untuk menempatkan dokter yang sedang mengikuti pendidikan dokter spesialis
untuk berpraktek di rumah sakit daerah. Berbagai jenis pelatihan tenaga
kesehatan juga dapat dilakukan dengan baik dengan adanya kerjasama dengan pihak
perguruan tinggi dan lembaga pendidikan kesehatan.
g. Mengembangkan Model Promosi Kesehatan Daerah
Pembangunan kesehatan akan
berjalan lebih baik bila didukung oleh bentuk penyampaian informasi yang baik
dan efektif. Upaya-upaya penyuluhan kesehatan akan berjalan lebih efektif
apabila didukung oleh promosi kesehatan yang baik. Pihak Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dapat memilih berbagai model pemasaran sosial untuk tujuan itu.
Dengan menerapkan sistem
pemasaran sosial dapat dilakukan penentuan bentuk informasi yang akan
disampaikan, pengembangan strategi komunikasi, dan penentuan sasaran dengan baik.
h. Meningkatkan Kerjasama Lintas Sektor
Salah satu penyebab
kurangberhasilnya program pembangunan (dalam berbagai bidang) selama ini adalah
adanya ego-sektoral instansi pemerintahan. Padahal beberapa program pembangunan
akan dapat berjalan dengan apabila ada kerjasama dengan sektor lain. Pembangunan
sektor kesehatan, misalnya, memerlukan kerjsama dengan sektor pertanian, pendidikan,
dan sosial.
i. Membentuk Badan Kerjasama antar Kabupaten/Kota
Harus disadari bahwa penyakit
tidak mengenal batas daerah. Wabah penyakit di satu daerah dapat menjalar ke
daerah lain. Selain itu, masalah penyakit yang dihadapai daerah yang satu
dengan daerah yang lain (dalam satu provinsi) relatif sama. Oleh karena itu,
untuk dapat mengatasi masalah tersebut secara bersama-sama dengan daerah lain
secara lebih terarah, efisien, dan efektif, perlu dibentuk badan kerjasama
antar Kabupaten/Kota berupa Provincial Joint Health Council (PJHC). Kerjasama
dapat berupa pertukaran informasi, pelatihan bersama, dan penanganan masalah
penyakit bersama. Adanya PJHC juga akan meningkatkan posisi tawar daerah
terhadap pemerintah provinsi dan pusat.
j. Meningkatkan Keterlibatan Masyarakat
Hakikat pembangunan adalah
peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Misra (1981) menyatakan
bahwa ‘real meaning of development is an increasing attainment of one’s own
cultural values’. Selanjutnya Susanto (2000) menyatakan pembangunan tidak hanya
ditujukan untuk pencapaian kebutuhan fisik saja, tetapi lebih daripada itu
untuk peningkatan dan pengakuan harkat dan martabat manusia. Pembangunan harus
bermuara kepada peningkatan dan apresiasi martabat dan harga diri manusia.
Dalam bidang kesehatan, tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat tanpa mengabaikan harkat dan martabat serta budaya
masyarakat.
Konsep pemberdayaan masyarakat
harus lebih diartikan sebagai lebih memberdayakan masyarakat, bukan menganggap
masyarakat tidak berdaya. Masyarakat yang selama ini dianggap sebagai objek
pembangunan harus dirobah menjadi pelaku pembangunan. Oleh karena itu,
pembangunan kesehatan harus dilakukan dengan melibatkan masyarakat, yaitu dengan
mendengarkan aspirasi masyarakat. Program yang baik menurut pemerintah belum tentu
baik menurut masyarakat dan sebaliknya. Pemerintah dan masyarakat harus duduk
dan berjalan bersama-sama menyususn dan melaksanakan pembangunan kesehatan
daerah.
k. Mengembangkan Model Pembiayaan Kesehatan
Dalam SE Menkes No.
1107/Menkes/E/VII/2000 disebutkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berwewenang
mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan melalui Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM). Hal tersebut senada dengan salah strategi
pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012, yaitu JPKM. Untuk mendukung
hal tersebut salah satu model pembiayaan kesehatan yang mungkin dilakukan adalah
sistem prabayar layanan kesehatan. Salah satu bentuk pembiayaan kesehatan
tersebut adalah asuransi kesehatan skala kecil, seperti arisan kesehatan. Hal
ini dapat diterapkan pada organisasi sosial dan adat baik yang formal maupun
tidak formal. Sebagai contoh adalah arisan kesehatan para penarik becak.
4.2 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Disadari bahwa kemampuan anggota
DPRD sangat beragam dan cenderung terbatas, terutama DPRD tingkat
Kabupaten/Kota. Sementara mereka dituntut untuk memahami hakikat desentralisasi
(termasuk desentralisasi bidang kesehatan) agar dapat mengawasi pelaksanaan pembangunan
kesehatan daerah dan mengeluarkan peraturan daerah (PERDA). PERDA yang dihasilkan
harus mendukung program pembangunan kesehatan, menciptakan iklim yang kondusif
untuk infestasi kesehatan. Hal ini dapat terjadi jika pihak DPRD memiliki
komitmen yang baik terhadap pembangunan kesehatan dan memahami hakikatnya.
Untuk tujuan ini perlu diselenggarakan pelatihan (capacity building) kepada
anggota DPRD (terutama komisi E yang membidangi kesehatan) mengenai kebijakan
desentralisasi kesehatan. Ada baiknya juga dipertimbangkan agar komisi E DPRD
memiliki staf ahli bidang kesehatan untuk dimintai saran dan pendapat berkaitan
dengan tugas pengawasan DPRD.
4.3 Masyarakat
Seperti telah disebutkan
sebelumnya bahwa makna substansial dari desentralisasi kesehatan adalah peran
serta masyarakat, maka adanya kebijakan desentralisasi akan memberi ruang dan
waktu bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan mengajukan usul berkenaan
dengan pembangunan kesehatan di daerah. Masyarakat berhak dimintai pendapatnya
mengenai apa yang terbaik bagi mereka dan apa yang mereka butuhkan. Organisasi
sosial kemasyarakatan, lembaga adat, tokoh masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat
(LSM) harus secara bersama-sama dan bahu-membahu dengan pemerintah menjalankan
pembangunan kesehatan di daerahnya. Pemerintah harus memberi akses yang sebesar-besarnya
kepada masyarakat tentang kebijakan yang dilakukan, sehingga masyarakat merasa
turut memiliki pembangunan dan diakui keberadaannya. Selain itu, masyarakat
dapat berperan sebagai pengawas jalannya pembangunan kesehatan daerah
V.
PENUTUP
Hakikat dari pembangunan adalah
peningkatan kesejahteraan, pengakuan martabat, dan peningkatan serta apresiasi
terhadap harga diri masyarakat. Kebijakan desentralisasi pembangunan kesehatan
seyogianya dimaksudkan untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat secara
merata di seluruh Indonesia. Dengan adanya kebijakan desentralisasi maka terdapat
keluwesan pemerintah daerah untuk melaksanakanan pemerintahan sendiri atas prakarsa,
kreativitas, dan peran serta masyarakat dalam mengembangkan dan memajukan kesehatan
di daerahnya. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah daerah Kabupaten/Kota (pemerintah,
DPRD, dan masyarakat) harus merencanakan dan merumuskan sendiri program pembangunan
kesehatan di daerahnya tanpa harus menunggu kebijakan dari atas. Program pembangunan
kesehatan harus bersifat bottom-up, yaitu berdasarkan aspirasi dari bawah. Hal ini
tidak mudah, karena selama ini daerah sudah terbiasa dengan kebijakan
pembangunan yang top-down tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat. Di satu
sisi, pihak pemerintah daerah (Dinas Kesehatan) tidak terbiasa merencanakan dan
menyusun program pembangunan daerah.
Di sisi lain, masyarakat sangat
jarang dilibatkan dalam proses pembangunan kesehatan. Oleh karena itu,
keberhasilan pembangunan kesehatan di era desentralisasi sangat tergantung pada
kesiapan daerah untuk melaksanakannya.
Beberapa upaya yang dapat
dilakukan oleh pemerintah daerah (Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota) untuk
meningkatkan kesiapan daerah dalam menghadapi dan melaksanakan desentralisasi
pembangunan kesehatan, antara lain, adalah menata ulang struktur organisasi Dinas
Kesehatan, menetapkan sistem kesehatan daerah, merencanakan dan menyusun
program pembangunan secara bottom-up, menumbuhkan mental proaktif pada aparatur
pemerintah, mengembangkan sistem informasi kesehatan, menjalin kerjasama dengan
lembaga-lembaga ilmiah dan pendidikan kesehatan, mengembangkan model promosi
kesehatan daerah, menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga ilmiah dan
pendidikan kesehatan, meningkatkan kerjasama lintas sektor, membentuk badan
kerjasama antar Kabupaten/Kota, meningkatkan keterlibatan masyarakat, dan
mengembangkan model pembiayaan kesehatan.
Selain itu, DPRD Kabupaten/Kota
harus mengawasi jalannya pembangunan kesehatan dan menghasilkan peraturan
daerah yang memberikan suasana kondusif kepada proses pembangunan dan infestasi
bidang kesehatan di daerah. Masyarakat, juga, harus terlibat dalam penyusunan
dan pelaksanaan pembangunan kesehatan di daerah, di samping berperan sebagai
pengawas pelaksanaannya.
Akhirnya, dengan adanya kebijakan
desentralisasi, pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama bahu-membahu
menjalankan pembangunan kesehatan untuk mencapai kondisi kesehatan yang
dicanangkan dalam Indonesia Sehat 2012, yaitu masyarakat yang hidup dalam lingkungan
dan dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan
yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
DAFTAR
PUSTAKA
---------.
1999. UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
--------.
2000. PP Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi
sebagai Daerah Otonom
---------. SE
Menkes Nomor 1107/Menkes/E/VII/2000 tentang Penjabaran Kewenangan
Desentralisasi
Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota
Depkes RI.
1999. Indonesia Sehat 2012: Visi Baru, Misi, Kebijakan, dan Strategi
Pembangunan
Kesehatan. Jakarta
Hartono, B.
2001. Penataan Sistem Kesehatan Daerah. Departemen Kesehatan RI, Jakarta
IVACG. 1992.
Nutrition Communications in Vitamin A Programs. International Vitamin A
Consultative
Group, Washington, D.C.
Mills, A.,
J.P. Vaughan, D.L. Smith, dan I. Tabibzadeh. 1989. Desentralisasi Sistem
Kesehatan:
Konsep-konsep, Isu-isu, dan Pengalaman di Berbagai Negara
(diterjemahkan
oleh Trisnantoro, L.). Gajah Mada University Press, Yogjakarta
Misra, R.P.
1981. Depelopment Where People Matter: Case for a Comprehensive Social
Policy.
Regional Development Alternatives, International Perspectives. Maruzen,
Asia, Nagoya
Rangkuti, F.
2002. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia, Jakarta
Rondinelli,
D.A. 1981. Government Decentralization in Comparative Theory and Practice in
Developing
Countries. International review of administrative sciences 47(2): 133-
145
Rondinelli,
D.A. 1983. Decentralization in Developing Countries (Staff Working Paper).
World Bank,
Washington, D.C.
GMKI, 9-11
Februari 2001, Wisma Kinasih Caringin Bogor.
Suryadharma
dan Suryautama. 2002. Fungsi Dinas Kesehatan Provinsi dalam Era
Desentralisasi.
Laporan Hasil Penelitian, Medan
Susanto, D.
2000. Pendekatan Paradigma Baru Ilmu Penyuluhan Pembangunan: Sumbang
Pikiran dalam
Meningkatkan Kiprah Jajaran Alumni Program Studi PPN.
Pemberdayaan
SDM menuju terwujudnya masyarakat madani. PPS IPB 25-26
September
2000.
Tagela, U.
2001. Seputar Otonomi Daerah.
Widjaya,
H.A.W. 2002. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Jahi, A. 1988
(penyunting). Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara
Dunia Ketiga:
Suatu Pengantar. PT. Gramedia, Jakarta