Kamis, 10 Mei 2012

Paradigma Baru Pembangunan Kesehatan


I.                   PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan untuk daerah otonom (daerah Kabupaten dan Kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 22 tahun 1999). Keluarnya undang-undang tersebut membawa implikasi yang luas terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang pihak penyelenggara pemerintah Kabupaten dan Kota (eksekutif dan legislatif). Di satu sisi, pihak eksekutif sebagai pelaksana kebijakan akan memiliki tugas dan wewenang yang semakin besar. Di sisi lain, pihak legislatif (DPRD) dituntut untuk mengoptimalkan pengawasan pelaksanaan kebijakan oleh eksekutif.
Beberapa kekhawatiran yang berkembang di masyarakat sebagai akibat dari kebijakan otonomi daerah, antara lain adalah munculnya raja-raja kecil di daerah, pemindahan korupsi dari pusat ke daerah, dan DPRD akan bertindak sebagai wasit ‘tegas’ yang sewaktu-waktu dapat menjatuhkan Bupati/Walikota. Indikasi ke arah tersebut telah ditemukan oleh Suryadharma, dkk (2002), yang menunjukkan bahwa pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menginginkan kekuasaan yang lebih luas daripada yang ditetapkan undang-undang. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999, pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 25 tahun 2000. PP No. 25 tahun 2000, Bab II, pasal 2 mengaturtugas dan wewenang desentralisasi bidang kesehatan pada daerah provinsi sebagai daerah otonom. Selanjutnya, Surat Edaran Menteri Kesehatan No. 1107/Menkes/E/VII/2000 mengatur tugas dan wewenang dekonsentrasi bidang kesehatan pada daerah provinsi sebagai wilayah administrasi dan daerah Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom.
Salah satu hal yang menonjol dari desentralisasi bidang kesehatan seperti yang digariskan dalam UU No. 22 tahun 1999 dan PP No.25 tahun 2000 adalah pemberian tugas dan wewenang yang sangat besar kepada daerah (Tabel 1). Hal yang menarik lagi adalah pemerintah pusat masih memilki wewenang yang besar yang didekonsentrasikan melalui pemerintah daerah provinsi sebagai perpanjangan tangan (Tabel 2).
Desentralisasi pembangunan kesehatan dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan pembangunan bidang kesehatan dengan cara lebih mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan sistem desentralistik diharapkan program pembangunan kesehatan lebih efektif dan efisien serta menyentuh kepada kebutuhan kesehatan riil masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena dengan sistem desentralistik rantai birokrasi akan diperpendek. Selain itu, sistem desentralistik juga memberi kewenangan bagi daerah untuk menentukan sendiri program serta pengalokasian dana pembangunan kesehatan di daerahnya. Hal ini berbeda dengan sistem sentralistik yang mekanisme penyusunan program dan pengalokasian dana pembangunannya yang top-down. Secara tidak langsung sistem sentralistik menganggap masalah kesehatan di seluruh Indonesia sama, padahal kenyataannya tidak dan bahkan sangat berbeda dari daerah yang satu ke daerah lain. Dengan sistem desentralisasik diharapkan pembangunan kesehatan dilakukan dengan mempertimbangkan masalah dan kebutuhan kesehatan dan potensi setempat. Dengan sistem desentralistik, juga, diharapkan adanya keterlibatan masyarakat (community involvement) yang besar dalam pembangunan kesehatan di daerahnya. Dengan cara ini masyarakat tidak lagi sebagai objek pembangunan tetapi akan berperan sebagai subjek pembangunan.
Hakikat desentralisasi kesehatan ini juga sesuai dengan paradigma sehat yang ditetapkan sebagai model pembangunan kesehatan di Indonesia, yaitu pembangunan kesehatan yang mengutamakan upaya-upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan upaya-upaya kuratif dan rehabilitatif (Depkes, 2001). Paradigma sehat merupakan modal pembangunan kesehatan yang dalam jangka panjang akan mampu mendorong masyarakat untuk bersikap dan bertindak mandiri dalam menjaga kesehatannya sendiri melalui kesadaran terhadap pentingnya upaya-upaya kesehatan yang bersifat promotif dan preventif.
Salah satu misi pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012 adalah mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. Untuk dapat terselenggaranya misi tersebut ditetapkanlah empat strategi pembangunan kesehatan, yaitu pembangunan berwawasan kesehatan, profesionalisme, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan desentralisasi (Depkes, 1999). Oleh karena itu, untuk menjamin terlaksananya pembangunan kesehatan yang digariskan dalam kebijakan desentralisasi, paradigma sehat, dan Indonesia Sehat 2012, semua kebijakan pembangunan yang sedang dan atau akan ditetapkan hendaknya memiliki wawasan kesehatan. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya agar semua penentu kebijakan memahami hakikat pembangunan berwawasan kesehatan. Selain itu perlu dilakukanpenjabaran konsep tersebut ke dalam operasionalnya berupa sistem kesehatan serta dirumuskan indikator dan ukuran-ukuran untuk menilainya.
1.2 Permasalahan
Seperti telah disebutkan sebelumnya, adanya kebijakan desentralisasi dalam bidang kesehatan akan membawa implikasi yang luas, terutama, terhadap pemerintah daerah sebagai pelaksana kebijakan dan terhadap masyarakat sebagai pelaku pembangunan dan yang akan merasakan hasil pembangunan. Implikasi tersebut tidak saja positif tetapi juga, mungkin, negatif. Hal ini dapat dimengerti karena, di satu sisi, selama ini pihak pelaksana pembangunan kesehatan di daerah (Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota) sudah terbiasa dengan kebijakan yang digariskan secara top-down. Sementara itu, mereka tidak terbiasa menyusun program kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi setempat. Di sisi lain, masyarakat yang selama ini dianggap sebagai objek pembangunan, dengan adanya desentralisasi kesehatan, akan turut serta menenetukan apa yang menurut mereka baik dan sesuai untuk dilakukan. Hal ini tidak mudah, tidak saja karena selama ini masyarakat jarang dilibatkan dalam setiap program pembangunan, tetapi juga adanya ‘stigmatisasi negatif’ masyarakat terhadap pemerintah, yang menyebabkan mereka sulit untuk dilibatkan.
Berdasarkan uraian di atas beberapa hal yang patut dikaji dalam upaya meningkatkan kesiapan daerah dalam melaksanakan pembangunan kesehatan pada era desentralisasi kesehatan adalah:
1. Dampak desentralisasi kesehatan terhadap pelaksanaan program kesehatan di daerah oleh penyelenggara pemerintaan di Kabupaten/Kota.
2. Bagaimana meningkatkan kesiapan masyarakat untuk turut serta mendukung kebijakan desentralisasi kesehatan?
3. Bagimana kesiapan sarana dan prasarana daerah Kabupaten/Kota untuk mendukung kebijakan desentralisasi kesehatan?
4. Apakah penyusunan program pembangunan kesehatan daerah mempertimbangkan potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam daerah?

Gambar 1. Perubahan paradigma pembangunan kesehatan
1.3 Tujuan
Menyadari bahwa berhasilnya pelaksanaan desentralisasi pembangunan kesehatan sangat bergantung pada kesiapan (dalam arti luas) daerah sebagai daerah otonom, maka penulis, melalui makalah ini, menguraikan sumbangan pemikiran mengenai beberapa (sebagian) upaya yang perlu dilakukan oleh penyelenggara pemerintah dan masyarakat daerah untuk menghadapi era desentralisasi pembangunan kesehatan. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai bagaimana penyelenggara pemerintah daerah memahami hakikat desentralisasi kesehatan, bagaimana menentukan skala prioritas, bagaimana menganalisis potensi setempat, bagaimana melibatkan masyarakat, bagaimana mengoptimalkan sarana dan prasarana yang ada, dan bagaimana melibatkan sektor (instansi) lain dalam pembangunan kesehatan di daerah. Pembahasan akan dimulai dari tinjauan kepustakaan mengenai kebijakan desentralisasi pembangunan bidang kesehatan (terutama mengenai tugas, wewenang, dan peran daerah), konsep paradigma sehat, dan visi, misi, dan kebijakan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012


II.                TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Pengertian Desentralisasi
Desentralisasi dalam arti umum didefinisikan sebagai pemindahan kewenangan, atau pembagian kekuasaan dalam perencanaan pemerintahan, manajemen dan pengambilan keputusan dari tingkat nasional ke tingkat daerah (Rondinelli, 1981). Secara lebih umum desentralisasi didefinisikan sebagai pemindahan kewenangan, kekuasaan, perencanaan pemerintahan, dan pengambilan keputusan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi ke tingkat yang lebih rendah (Mills, dkk, 1989).
Dalam prakteknya, terdapat empat jenis desentralisasi yang umum dijumpai, yaitu dekonsentrasi, devolusi, delegasi, dan privatisasi (Rondinelli, 1983). Istilah dekonsentrasi dipakai untuk menggambarkan pemindahan beberapa kekuasaan administratif ke kantor-kantor daerah dari pemerintah pusat. Dalam prakteknya, sebelum era otonomi daerah, Indonesia sudah menerapkan dekonsentrasi, yaitu dengan adanya Kantor Wilayah Departemen di provinsi. Karena dekonsentrasi melibatkan pemindahan fungsi administratif, bukan fungsi politis, maka dekonsentrasi merupakan bentuk desentralisasi yang paling lemah. Dalam hal ini, Kantor Wilayah Deparetemen hanya merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat, karena secara riil tanggung jawab pemerintahan tetap berada pada pemerintah pusat.
Devolusi merupakan kebijakan untuk membentuk atau memperkuat pemerintahan tingkat sub-nasional (pemerintah daerah) yang benar-benar independen dari tingkat pusat dalam beberapa fungsi secara jelas. Otoritas daerah mempunyai status hukum yang jelas, sejumlah fungsi yang harus dikerjakan, dan kewenangan untuk mencari sumber pembiayaan serta pembelanjaannya. Pemerintah Indonesia, secara ’setengah hati’ telah mempraktekkan devolusi, yaitu dengan adanya Kantor Dinas di Kabupaten/Kota. Walaupun pihak Dinas Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk mencari sumber dana sendiri, namun dalam prakteknya bagian terbesar pembiayaannya masih berasal dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat, secara kuat, masih memegang kewenangan dalam hal penentuan kebijakan pembangunan di daerah.
Delegasi berkaitan dengan pemindahan tanggungjawab manajerial untuk tugas-tugas tertentu ke organisasi-organisasi tertentu di luar stuktur pemerintah pusat, tetapi pelaksanaannya, secara tidak langsung, masih dikontrol pemerintah pusat. Pemerintah pusat memandang pendelegasian tanggungjawab sebagai suatu cara untuk menghindari ketidakefisienan pengelolaan, penghematan biaya pengawasan, dan untuk menyusun suatu organisasi yang responsif dan luwes. Tanggungjawab terakhir masih di tangan pemerintah pusat, tetapi pelaksananya mempunyai kewenangan luas untuk melaksanakan tugas-tugas kewenangan dan kewajiban yang sudah ditentukan. Pengadaan dokter pegawai tidak (dokter PTT) adalah contoh delegasi di Indonesia. Pengadaan dokter PTT merupakan kebijakan pemerintah pusat (termasuk penggajian), sedangkan pengelolaannya (penugasan) merupakan wewenang pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan.
Privatisasi merupakan pemindahan tugas-tugas pengelolaan ke organisasi-organisasi sukarelawan atau perusahaan privat, baik yang mencari untung maupun tidak. Dalam bidang kesehatan, beberapa jenis pelayanan telah diserahkan kepada perusahaan swasata, seperti pengelolaan Rumah Sakit dan perusahaan farmasi. Namun penting untuk diketahui bahwa privatisasi tidak membuat pemerintah lepas beban dari pengelolaan pelayanan kesehatan.
Sebuah badan pengatur (misalnya Badan Pengawasan Obat dan Makanan) dibutuhkan untuk mengawasi penyediaan dan mutu obat dan makanan.
Perbedaan antara keempat jenis desentralisasi tersebut di atas pada prinsipnya berdasar atas status hukumnya (Mills, dkk, 1989). Selanjutnya, salah satu jenis desentralisasi di negara tertentu dapat lebih menonjol daripada jenis yang lainnya, atau bahkan saling tumpang tindih.

2.2 Desentralisasi Sistem Kesehatan di Indonesia
Desentralisasi kesehatan di Indonesia secara lebih jelas dilakasanakan setelah dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999, PP No. 25 tahun 2000, serta SE Menkes No. 1107/Menkes/E/VII/2000. UU No. 22 tahun 1999 pasal 1 ayat h menyebutkan “otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat (termasuk bidang kesehatan), menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Menurut aturan perundang-undangan dan dalam prakteknya, desentralisasi bidang kesehatan di Indonesia menganut semua jenis desentralisasi (dekonsentrasi, devolusi, delegasi, dan privatisasi). Hal ini terlihat dari masih adanya kewenangan pemerintah pusat yang didekonsentrasikan di daerah provinsi melalui Dinas Kesehatan Provinsi. Selain itu, berdasarkan SE Menkes/E/VII/2000 disebutkan beberapa tugas yang mungkin tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dapat diserahkan ke tingkat yang lebih tinggi.
Upaya privatisasi pelayanan kesehatan dan perusahaan pendukung pelayanan kesehatan juga sedang giat dilakukan.
Kandungan makna substansial dari desentralisasi adalah bagaimana menyejahterakan dan menciptakan keadilan bagi kehidupan masyarakat di daerah (Tagela, 2001). Selanjutnya, Simangunsong (2001) mengatakan bahwa inti dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keluwesan pemerintah daerah untuk melaksanakanan pemerintahan sendiri atas prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat dalam mengembangkan dan memajukan daerahnya. Dalam bidang kesehatan, implikasi desentralisasi pembangunan kesehatan, antara lain, adalah sebagai berikut: 1) Terwujudnya pembangunan kesehatan yang demokratis yang berdasarkan atas aspirasi masyarakat. 2) Pemerataan pembangunan dan pelayanan kesehatan, 3) Optimalisasi potensi pembangunan kesehatan di daerah yang selama ini belum tergarap, 4) Memacu sikap inisiatif dan kreatif aparatur pemerintah daerah yang selama ini hanya mengacu pada petunjuk atasan, 5) Menumbuhkembangkan pola kemandirian pelayanan kesehatan (termasuk pembiayaan kesehatan) tanpa mengabaikan peran serta sektor lain. Kesemuanya ini bermuara pada peneingkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.

2.3 Fungsi dan Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota dalam Desentralisasi Kesehatan
Kewenangan Desentralisasi Kesehatan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota diatur melalui PP No. 25 tahun 2000 pasal 2 No. 10 bidang kesehatan. Selanjutnya, kewenangan desentralisasi dan dekonsentrasi daerah Kabupaten/Kota dijabarkan dalam SE No. 1107/Menkes/E/VII/2000. Tabel 1 dan Tabel 2, berturut-turut, memuat kewenangan dekonsentrasi dan desentralisasi Provinsi dan kewenangan desentralisasi daerah Kabupaten/Kota.
Selanjutnya, berdasarkan PP No. 25 tahun 2000 pasal 3 ayat 3 disebutkan selain kewenangan yang dimaksud dalam pasal 1 dan pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota, Provinsi dapat melaksanakan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Ayat 4 menyebutkan kewenangan Kabupaten/Kota pada bidang tertentu dan bagian tertentu dari kewenangan wajib dapat dilaksanakan oleh Provinsi dengan kesepekatan antar Kabupate/Kota dan Provinsi. Pasal 3 ayat 3 dan 4 ini memberi peluang pada bertambahnya kewenangan Provinsi atau berkurangnya kewenangan Kabupaten/Kota, tergantung kepada kesiapan sumberdaya Kabupaten/Kota.


TABEL 1. Fungsi dan Kewenangan Desentralisasi dan Dekonsentrasi Kesehatan Prov
Sumber:  1. PP No. 25 tahun 2000 pasal 2 No. 10 Bidang Keehatan
2. SE No. 1107/Menkes/E/VII/2000

TABEL 2. Fungsi dan Kewenangan Minimal Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
Sumber: SE No. 1107/Menkes/E/VII/2000

2.4 Desentralisasi Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2012
Dalam konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) tahun 1948 disepakati, antara lain, bahwa diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak yang fundamental bagi setiap orang tanpa membedakan ras, agama, politik yang dianut, dan tingkat sosial ekonominya. Inilah salah satu yang menjiwai penyusunan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012 yang berdasarkan atas perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, dan pengutamaan manfaat. Sementara itu, isu strategis bidang kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012 adalah kerja sama lintas sektor, pemberdayaan masyarakat, mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan, dan sumber daya pembiayaan kesehatan. Untuk dapat mencapai tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012 beberapa kebijakan strategi yang ditempuh, antara lain, adalah peningkatan kerjasama lintas sektor, peningkatan perilaku, pemberdayaan masyarakat dan kemitraan swasta, peningkatan upaya kesehatan, dan peningkatan sumber daya kesehatan (Depkes, 1999).
Visi pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012 adalah masyarakat, bangsa, dan negara yang ditandai dengan oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan setinggi-tingginya diseluruh Indonesia. Sementara itu, salah satu misi pembangunan kesehatan adalah mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat (Depkes, 1999).
Bila dikaitkan dengan visi dan misi pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012, maka kebijakan desentralisasi dapat dianggap sebagai upaya percepatan menunju cita-cita tersebut, karena hakikat dari desentralisasi pembangunan kesehatan adalah tersedianya pelayanan kesehatan secara adil dan merata bagi seluruh warga negara. Hal tersebut dimungkinkan karena daerah diberi keluwesan untuk mengurus kesehatan daerahnya. Program pembangunan kesehatan tidak lagi top-down tetapi benar-benar berasal dari aspirasi masyarakat (daerah). Dengan desentralisasi, daerah memiliki kewenangan menyusun sistim kesehatannya sendiri, menentukan anggaran pembangunan kesehatan, memilih prioritas pembangunan, mendayagunakan sumber daya kesehatan, menentukan tarif pelayanan kesehatan, dan membuat kebijakan sistem pembiayaan kesehatan di daerahnya.


III.             KENDALA DALAM PELAKSANAAN DESENTRALISASI KESEHATAN

Harus diakui bahwa melaksanakan sesuatu yang relatif baru tentu akan berhadapan dengan berbagai kendala, yang penyelesaiannya membutuhkan waktu yang relatif lama. Salah satu hal yang dapat menghambat pelaksnaan desentralisasi adalah perubahan yang dramatis terhadap birokrasi pemerintahan di daerah. Selama ini masyarakat memandang birokrasi sebagai suatu proses panjang dan berbelit-belit, apabila masyarakat akan menyelesaikan suatu urusan dengan aparatur pemerintah (Widjaya, 2002). Arus desentralisasi semakin menuntut perobahan ‘radikal’ dalam kinerja birokrasi aparatur pemerintahan. Hal ini merupakan kendala, karena peroses perobahannya memerlukan waktu lama dan kemauan kuat dari aparatur pemerintah (termasuk perubahan mental birokrat) yang selama ini sudah ‘mapan’.
Menurut Tagela (2001), beberapa kendala umum yang dihadapi daerah (Kabupaten/Kota) dalam melaksanakan desentralisasi adalah terbatasnya sumber daya manusia, sarana dan prasarana, manajemen, sumber daya alam, pendapatan asli daerah, dan mental aparatur yang sudah terbiasa dengan mengikuti petunjuk atasan. Disamping itu, dari sisi masyarakat, posisi masyarakat yang selama ini menjadi objek pembangunan merupakan kendala juga, karena dalam era desentralisasi mereka dituntut untuk banyak terlibat dalam perencanaan dan penyusunan program pembangunan di daerah.
Dalam bidang kesehatan, berdasarkan fungsi dan kewenangan daerah Kabupaten /Kota, kesiapan daerah, baik dari pihak penyelenggara pemerintahan (ekesekutif dan legislatif) maupun dari pihak masyarakat, sangat dituntut. Sebagai contoh, pemerintah daerah diharapkan untuk menyusun sistim kesehatan, merencanakan pembangunan kesehatan, melakukan bimbingan dan pengendalian upaya kesehatan, dan pengembangan kerjasama lintas sektor (lintas instansi). Selain itu, pemerintah daerah dituntut untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang ada di daerah dan sedapat mungkin melibatkan masyarakat dalam setiap perencanaan dan penyusunan program pembangunan kesehatan di daerah. Hal ini tidak mudah dilakukan, karena selama ini daerah sudah dininabobokan oleh kebijakan yang ditetapkan dari pusat.
Pihak DPRD diharapkan dapat menghasilkan peraturan daerah yang memberi iklim kondusif terhadap pembangunan kesehatan di daerah. Kebiasaan ego-sektoral yang selama ini terjadi juga merupakan kendala dalam pelaksanaan desentralisasi kesehatan, karena pembangunan kesehatan hanya dapat berhasil jika terdapat kerjasama lintas sektor yang baik. Hal ini sesuai dengan misi Indonesia Sehat 2012.

IV. UPAYA MENINGKATKAN KESIAPAN DAERAH

Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi kesehatan tergantung pada kesiapan daerah untuk dapat mengimplementasikannya. Berdasarkan fungsi dan kewenangan yang dimiliki Kabupaten/Kota dan visi dan misi pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012, ada tiga elemen masyarakat pokok di daerah yang dituntut kesiapannya dalam memahami hakikat dan tujuan desentralisasi kesehatan sehingga pelaksanaannya di daerah dapat berjalan sesuai dengan harapan. Ketiga elemen tersebut adalah a) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (pihak eksekutif), b) DPRD Kabupaten/Kota (pihak legislatif), dan c) masyarakat. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk lebih menyiapkan daerah dalam menghadapi dan melaksanakan desentralisasi kesehatan diuraikan berikut ini.
4.1 Dinas Kesehatan Kabupaten Kota
Hal pertama yang perlu dipahamai oleh pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota beserta jajarannya adalah memahami hakekat dan tujuan kebijakan desentraslisasi kesehatan dan mengintegrasikannya dengan visi dan misi pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012. Selain itu, hal lain yang sama pentingnya adalah pemahaman dan fungsi, tugas, dan wewenang Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh peraturan, serta kewenangan pihak instansi yang lebih tinggi (Provinsi dan Pusat). Hal ini diperlukan untuk menghindari kemungkinan adanya saling tidak pengertian antara pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah Provinsi dan Pusat. Untuk tujuan ini pemerintah daerah bersama-sama dengan pihak DPRD dapat menyelenggarakan sebuah seminar atau sejenis pelatihan bekenaan dengan fungsi, tugas, dan wewenang daerah untuk menyamakan persepsi mereka terhadap desentralisasi kesehatan.
Bekenaan dengan pelaksanaan desentralisasi kesehatan, pihak Pemerintah Daerah, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan DPRD perlu melaksanakan hal-hal, antara lain, sebagai berikut:
a. Menetapkan Sistem Kesehatan Daerah
Menurut Hartono (2001), sistem kesehatan adalah semua kegiatan yang secara bersama-sama diarahkan untuk mencapai tujuan utama berupa peningkatan dan pemeliharaan kesehatan. Tujuan pokok penetapan sistem kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, merespon harapan-harapan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan harga diri dan hak azasinya, dan memberikan perlindungan finansial terhadap kemungkinan dikeluarkannya biaya pelayanan kesehatan. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem kesehatan memiliki empat fungsi, yaitu pelayanan kesehatan, pembiayaan kesehatan, pengembangan sumber daya kesehatan, dan pengawasan dan pengarahan pembangunan dan pelayanan kesehatan.
Penetapan sistem kesehatan dapat dilakukan, salah satunya, dengan menempatkan bidang kesehatan sebagai salah satu ‘pilar’ pembangunan daerah. Hal ini dilakukan, tentunya, dengan melihat potensi dan prioritas masalah di daerah. Penempatan bidang kesehatan sebagai salah satu pilar pembangunan daerah membawa konsekuensi luas terhadap kebijakan pembangunan di daerah. Semua program pembangunan sedapat mungkin diarahkan untuk mendukung program kesehatan. Konsekuensi lain adalah perlunya peningkatan yang signifikan alokasi biaya pembangunan kesehatan dalam Rancangan Anggaran Pembangunan Daerah. Dalam Sistem Kesehatan daerah juga harus ditetapkan visi dan misi pembangunan kesehatan daerah, yang dapat menunjang dan mendukung visi dan misi pembangunan kesehatan nasional. Visi dan misi ini selanjutnya dimasukkan dalam rencana strategis pembangunan kesehatan daerah.
Pihak perencana program dituntut kepekaannya untuk menangkap setiap peluang untuk melakukan perubahan (seizing the opportunity for change) (IVACG, 1992) berdasarkan potensi setempat dan masalah untuk dapat digunakan sebagai dasar penentuan prioritas pembangunan.
b. Menata Ulang Struktur Organisasi Kesehatan Dinas Kesehatan
Struktur organisasi yang selama ini dianut sudah sangat terbiasa dengan pola sentralistik, sehingga untuk lebih akomodatif dan tanggap terhadap perubahan yang relatif sangat berbeda perlu dilakukan penyegaran strukturnya. Dianjurkan untuk pembentukan Sub Dinas baru (sesuai dengan kebutuhan, dan kondisi setempat), misalnya Sub Dinas Penelitian dan Pengembangan. Sub Dinas ini nantinya akan membawahi Seksi Sistem Informasi Kesehatan.
c. Menyusun Program Pembangunan secara Bottom-Up
Setelah pihak Kabupaten/Kota menetapakan sistem kesehatan daerahnya, maka hal yang segera perlu dilakukan adalah merencanakan dan menyusun program pembangunan kesehatan secara bottom-up. Dinas Kesehatan diberi kewenangan yang sangat luas untuk merencanakan dan menyususn programnya. Dalam menyusun program kesehatan ini, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus memperhatikan hal-hal berikut:
i. Memilih/menentukan program kesehatan yang sesuai dengan kondisi riil masyarakat setempat (melakukan identifikasi masalah secara akurat). Hal ini didukung oleh penentuan skala prioritas pembangunan.
ii. Melakukan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats) untuk mengidentifikasi dan mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman daerah. Analisis SWOT adalah indentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi program pembangunan (Rangkuti, 2002). Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Dengan demikian para perencana strategik harus menganalisis faktor-faktor strategis daerah (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) pada kondisi saat ini. Beberapa faktor strategis yang harus dipertimbangkan, antara lain, adalah sumber daya (alam, manusia), sarana dan prasarana (RS, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Posyandu, dan lain-lain), kondisi geografis, sarana transportasi, jumlah penduduk, dan budaya masyarakat.
iii. Mengoptimalkan potensi daerah, melalui pemanfaatan secara bijaksana sumber daya lokal untuk mendukung pembangunan kesehatan. Menjajaki kemungkinan pemanfaatan pengobatan tradisional, adalah contoh optimalisasi potensi daerah.

d. Menumbuhkan Mental Proaktif
Sudah saatnya pihak Dinas Kesehatan melakukan upaya-upaya pembangunan secara proaktif tanpa menunggu petunjuk dari atasan. Budaya Asal Bapak Senang sudah saatnya ditinggalkan. Beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain, adalah:
i. Proaktif mengembangkan dan menghasilkan ide-ide dan berpikir secara sistem (system thinking),
ii. proaktif mencari sumber dana pembangunan kesehatan,
iii. proaktif mengundang investor bidang kesehatan, dan
iv. proaktif melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga donor nasional dan internasional.

e. Mengembangkan Sitsem Informasi Kesehatan Daerah
Setiap program yang direncanakan dan disusun harus didukung oleh data yang akurat dan mutakhir. Selama ini, kebanyakan data yang dilaporkan disesuaikan dengan keinginan pihak yang dilapor (atasan) sehingga data yang ada tidak mencerminkan kondisi sebenarnya di lapangan. Oleh karena itu, langkah yang penting diambil adalah pengumpulan data yang akurat dan mutakhir tentang situasi kesehatan daerah dan faktor-faktor pendukungnya.
Hal tersebut dapat dialakukan dengan merevitalisasi dan menata kembali peran sistem informasi kesehatan yang selama ini kurang berjalan dengan baik. Pembentukan seksi penelitian dan pengembangan juga merupakan salah satu alternatif untuk pengadaan data yang akurat untuk tujuan penyusunan program kesehatan daerah.

f. Menjalin Kerjasama dengan Lembaga-lembaga Ilmiah dan Pendidikan Kesehatan
Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota juga dituntut untuk lebih proaktif menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga ilmiah dan pendidikan yang terkait dengan kesehatan. Sebagai contoh, selama ini tenaga dokter spesialis enggan bertugas di daerah. Namun hal ini dapat diatasi dengan melakukan kerjasama dengan pihak perguruan tinggi untuk menempatkan dokter yang sedang mengikuti pendidikan dokter spesialis untuk berpraktek di rumah sakit daerah. Berbagai jenis pelatihan tenaga kesehatan juga dapat dilakukan dengan baik dengan adanya kerjasama dengan pihak perguruan tinggi dan lembaga pendidikan kesehatan.
g. Mengembangkan Model Promosi Kesehatan Daerah
Pembangunan kesehatan akan berjalan lebih baik bila didukung oleh bentuk penyampaian informasi yang baik dan efektif. Upaya-upaya penyuluhan kesehatan akan berjalan lebih efektif apabila didukung oleh promosi kesehatan yang baik. Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat memilih berbagai model pemasaran sosial untuk tujuan itu.
Dengan menerapkan sistem pemasaran sosial dapat dilakukan penentuan bentuk informasi yang akan disampaikan, pengembangan strategi komunikasi, dan penentuan sasaran dengan baik.
h. Meningkatkan Kerjasama Lintas Sektor
Salah satu penyebab kurangberhasilnya program pembangunan (dalam berbagai bidang) selama ini adalah adanya ego-sektoral instansi pemerintahan. Padahal beberapa program pembangunan akan dapat berjalan dengan apabila ada kerjasama dengan sektor lain. Pembangunan sektor kesehatan, misalnya, memerlukan kerjsama dengan sektor pertanian, pendidikan, dan sosial.
i. Membentuk Badan Kerjasama antar Kabupaten/Kota
Harus disadari bahwa penyakit tidak mengenal batas daerah. Wabah penyakit di satu daerah dapat menjalar ke daerah lain. Selain itu, masalah penyakit yang dihadapai daerah yang satu dengan daerah yang lain (dalam satu provinsi) relatif sama. Oleh karena itu, untuk dapat mengatasi masalah tersebut secara bersama-sama dengan daerah lain secara lebih terarah, efisien, dan efektif, perlu dibentuk badan kerjasama antar Kabupaten/Kota berupa Provincial Joint Health Council (PJHC). Kerjasama dapat berupa pertukaran informasi, pelatihan bersama, dan penanganan masalah penyakit bersama. Adanya PJHC juga akan meningkatkan posisi tawar daerah terhadap pemerintah provinsi dan pusat.
j. Meningkatkan Keterlibatan Masyarakat
Hakikat pembangunan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Misra (1981) menyatakan bahwa ‘real meaning of development is an increasing attainment of one’s own cultural values’. Selanjutnya Susanto (2000) menyatakan pembangunan tidak hanya ditujukan untuk pencapaian kebutuhan fisik saja, tetapi lebih daripada itu untuk peningkatan dan pengakuan harkat dan martabat manusia. Pembangunan harus bermuara kepada peningkatan dan apresiasi martabat dan harga diri manusia. Dalam bidang kesehatan, tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tanpa mengabaikan harkat dan martabat serta budaya masyarakat.
Konsep pemberdayaan masyarakat harus lebih diartikan sebagai lebih memberdayakan masyarakat, bukan menganggap masyarakat tidak berdaya. Masyarakat yang selama ini dianggap sebagai objek pembangunan harus dirobah menjadi pelaku pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan kesehatan harus dilakukan dengan melibatkan masyarakat, yaitu dengan mendengarkan aspirasi masyarakat. Program yang baik menurut pemerintah belum tentu baik menurut masyarakat dan sebaliknya. Pemerintah dan masyarakat harus duduk dan berjalan bersama-sama menyususn dan melaksanakan pembangunan kesehatan daerah.
k. Mengembangkan Model Pembiayaan Kesehatan
Dalam SE Menkes No. 1107/Menkes/E/VII/2000 disebutkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berwewenang mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Hal tersebut senada dengan salah strategi pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2012, yaitu JPKM. Untuk mendukung hal tersebut salah satu model pembiayaan kesehatan yang mungkin dilakukan adalah sistem prabayar layanan kesehatan. Salah satu bentuk pembiayaan kesehatan tersebut adalah asuransi kesehatan skala kecil, seperti arisan kesehatan. Hal ini dapat diterapkan pada organisasi sosial dan adat baik yang formal maupun tidak formal. Sebagai contoh adalah arisan kesehatan para penarik becak.
4.2 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Disadari bahwa kemampuan anggota DPRD sangat beragam dan cenderung terbatas, terutama DPRD tingkat Kabupaten/Kota. Sementara mereka dituntut untuk memahami hakikat desentralisasi (termasuk desentralisasi bidang kesehatan) agar dapat mengawasi pelaksanaan pembangunan kesehatan daerah dan mengeluarkan peraturan daerah (PERDA). PERDA yang dihasilkan harus mendukung program pembangunan kesehatan, menciptakan iklim yang kondusif untuk infestasi kesehatan. Hal ini dapat terjadi jika pihak DPRD memiliki komitmen yang baik terhadap pembangunan kesehatan dan memahami hakikatnya. Untuk tujuan ini perlu diselenggarakan pelatihan (capacity building) kepada anggota DPRD (terutama komisi E yang membidangi kesehatan) mengenai kebijakan desentralisasi kesehatan. Ada baiknya juga dipertimbangkan agar komisi E DPRD memiliki staf ahli bidang kesehatan untuk dimintai saran dan pendapat berkaitan dengan tugas pengawasan DPRD.
4.3 Masyarakat
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa makna substansial dari desentralisasi kesehatan adalah peran serta masyarakat, maka adanya kebijakan desentralisasi akan memberi ruang dan waktu bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan mengajukan usul berkenaan dengan pembangunan kesehatan di daerah. Masyarakat berhak dimintai pendapatnya mengenai apa yang terbaik bagi mereka dan apa yang mereka butuhkan. Organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga adat, tokoh masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) harus secara bersama-sama dan bahu-membahu dengan pemerintah menjalankan pembangunan kesehatan di daerahnya. Pemerintah harus memberi akses yang sebesar-besarnya kepada masyarakat tentang kebijakan yang dilakukan, sehingga masyarakat merasa turut memiliki pembangunan dan diakui keberadaannya. Selain itu, masyarakat dapat berperan sebagai pengawas jalannya pembangunan kesehatan daerah



V. PENUTUP

Hakikat dari pembangunan adalah peningkatan kesejahteraan, pengakuan martabat, dan peningkatan serta apresiasi terhadap harga diri masyarakat. Kebijakan desentralisasi pembangunan kesehatan seyogianya dimaksudkan untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat secara merata di seluruh Indonesia. Dengan adanya kebijakan desentralisasi maka terdapat keluwesan pemerintah daerah untuk melaksanakanan pemerintahan sendiri atas prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat dalam mengembangkan dan memajukan kesehatan di daerahnya. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah daerah Kabupaten/Kota (pemerintah, DPRD, dan masyarakat) harus merencanakan dan merumuskan sendiri program pembangunan kesehatan di daerahnya tanpa harus menunggu kebijakan dari atas. Program pembangunan kesehatan harus bersifat bottom-up, yaitu berdasarkan aspirasi dari bawah. Hal ini tidak mudah, karena selama ini daerah sudah terbiasa dengan kebijakan pembangunan yang top-down tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat. Di satu sisi, pihak pemerintah daerah (Dinas Kesehatan) tidak terbiasa merencanakan dan menyusun program pembangunan daerah.
Di sisi lain, masyarakat sangat jarang dilibatkan dalam proses pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan kesehatan di era desentralisasi sangat tergantung pada kesiapan daerah untuk melaksanakannya.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah (Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota) untuk meningkatkan kesiapan daerah dalam menghadapi dan melaksanakan desentralisasi pembangunan kesehatan, antara lain, adalah menata ulang struktur organisasi Dinas Kesehatan, menetapkan sistem kesehatan daerah, merencanakan dan menyusun program pembangunan secara bottom-up, menumbuhkan mental proaktif pada aparatur pemerintah, mengembangkan sistem informasi kesehatan, menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga ilmiah dan pendidikan kesehatan, mengembangkan model promosi kesehatan daerah, menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga ilmiah dan pendidikan kesehatan, meningkatkan kerjasama lintas sektor, membentuk badan kerjasama antar Kabupaten/Kota, meningkatkan keterlibatan masyarakat, dan mengembangkan model pembiayaan kesehatan.
Selain itu, DPRD Kabupaten/Kota harus mengawasi jalannya pembangunan kesehatan dan menghasilkan peraturan daerah yang memberikan suasana kondusif kepada proses pembangunan dan infestasi bidang kesehatan di daerah. Masyarakat, juga, harus terlibat dalam penyusunan dan pelaksanaan pembangunan kesehatan di daerah, di samping berperan sebagai pengawas pelaksanaannya.
Akhirnya, dengan adanya kebijakan desentralisasi, pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama bahu-membahu menjalankan pembangunan kesehatan untuk mencapai kondisi kesehatan yang dicanangkan dalam Indonesia Sehat 2012, yaitu masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.




DAFTAR PUSTAKA
---------. 1999. UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
--------. 2000. PP Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi sebagai Daerah Otonom
---------. SE Menkes Nomor 1107/Menkes/E/VII/2000 tentang Penjabaran Kewenangan
Desentralisasi Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota
Depkes RI. 1999. Indonesia Sehat 2012: Visi Baru, Misi, Kebijakan, dan Strategi
Pembangunan Kesehatan. Jakarta
Hartono, B. 2001. Penataan Sistem Kesehatan Daerah. Departemen Kesehatan RI, Jakarta
IVACG. 1992. Nutrition Communications in Vitamin A Programs. International Vitamin A
Consultative Group, Washington, D.C.
Mills, A., J.P. Vaughan, D.L. Smith, dan I. Tabibzadeh. 1989. Desentralisasi Sistem
Kesehatan: Konsep-konsep, Isu-isu, dan Pengalaman di Berbagai Negara
(diterjemahkan oleh Trisnantoro, L.). Gajah Mada University Press, Yogjakarta
Misra, R.P. 1981. Depelopment Where People Matter: Case for a Comprehensive Social
Policy. Regional Development Alternatives, International Perspectives. Maruzen,
Asia, Nagoya
Rangkuti, F. 2002. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia, Jakarta
Rondinelli, D.A. 1981. Government Decentralization in Comparative Theory and Practice in
Developing Countries. International review of administrative sciences 47(2): 133-
145
Rondinelli, D.A. 1983. Decentralization in Developing Countries (Staff Working Paper).
World Bank, Washington, D.C.
GMKI, 9-11 Februari 2001, Wisma Kinasih Caringin Bogor.
Suryadharma dan Suryautama. 2002. Fungsi Dinas Kesehatan Provinsi dalam Era
Desentralisasi. Laporan Hasil Penelitian, Medan
Susanto, D. 2000. Pendekatan Paradigma Baru Ilmu Penyuluhan Pembangunan: Sumbang
Pikiran dalam Meningkatkan Kiprah Jajaran Alumni Program Studi PPN.
Pemberdayaan SDM menuju terwujudnya masyarakat madani. PPS IPB 25-26
September 2000.
Tagela, U. 2001. Seputar Otonomi Daerah.
Widjaya, H.A.W. 2002. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Jahi, A. 1988 (penyunting). Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara
Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. PT. Gramedia, Jakarta

Tidak ada komentar:

Yang Populer