BAB I
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan dunia yang semakin maju
dan peradaban manusia yang gemilang sebagai refleksi dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan hukum kemasyarakatan
dunia bisa bergeser sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang
bersangkutan. Kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati kedudukan yang
tinggi. Apabila terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, interpretasi
terhadap hukum juga bisa berubah.
Hal tersebut di atas juga diakibatban oleh gerakan
kebebasan, masyarakat barat yang menganut sistem demokrasi liberal dimana hak
individu sangat dijunjung tinggi dan nilai-nilai moral telah terlepas dari
poros agama, ditandai dengan berkembangnya paham sekularisme. Siapapun
(termasuk pemerintah) tidak boleh mencampuri dan mengganggu hak individu.
Masalah euthanasia telah lama dipertimbangkan oleh
kalangan kedokteran dan para praktisi hukum di negara-negara barat. Pro dan
kontra terhadap euthanasia itu masih berlangsung ketika dikaitkan dengan
pertanyaan bahwa menentukan mati itu hak siapa dan dari sudut mana ia harus
melihat. Dalam uraian yang akan disampaikan berikut ini akan disampaikan
pembahasan mengenai euthanasia termasuk pandangan mengenai euthanasia meurut
beberapa pihak.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Euthanasia dan Macam-macamnya
Euthanasia
berasal dari kata Yunani eu : baik
dan thanatos : mati. Maksudnya adalah
mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit.
Euthanasia sering disebut : mercy killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa muncul dari
keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien
(bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah
tidak sadar).
Tindakan euthanasia dikategorikan menjadi 2 :
1.
Euthanasia aktif adalah : suatu tindakan
mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan maupun melepaskan
alat-alat pembantu medika, seperti : melepaskan saluran zat asam, melepas alat
pemacu jantung dan lain-lain. Yang termasuk tindakan mempercepat proses
kematian disini adalah : jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman
medis masih menunjukkan adanya harapan hidup. Tanda-tanda kehidupan masih
terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan.
2.
Euthanasia pasif adalah : suatu tindakan
membiarkan pasien/penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan
maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan
tidak terdapat lagi padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah
rusak atau lemah seperti : bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah terlalu
tinggi, tidak berfungsinya jantung.
3.
Auto-euthanasia, artinya seorang
pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia
mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari
penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah
euthanasia pasif atas permintaan.
Macam – macam euthanasia :
1.
Euthanasia sukarela : Apabila si
pasien itu sendiri yang meminta untuk diakhiri hidupnya.Misalnya dengan menolak
perawatan medis, meminta perawatannya dihentikan atau mesin pendukung
kehidupannya dimatikan atau menolak untuk makan.
2.
Euthanasia non-sukarela : Apabila
pesien tersebut tidak mengajukan permintaan atau menyetujui untuk diakhiri
hidupnya.Ini terjadi ketika pasien sadar atau tidak, sehingga ada orang lain
yang mengambil keputusan atas namanya.Euthanasia non-sukarela bisa terjadi pada
kasus-kasus seperti pasien sedang koma, pasien terlalu muda (misalnya bayi),
orang pikun, mengalami keterbelakangan mental yang sangat parah atau gangguan
otak parah.
3.
Involuntary Euthanasia : Pada
prinsipnya sama seperti euthanasia
non-sukarela, tapi pada kasus ini, si pasien menunjukkan permintaan euthanasia lewat ekspresi.
4.
Assisted suicide (bunuh diri
dengan bantuan) : Atau bisa dikatakan proses bunuh diri dengan bantuan suatu
pihak. Seseorang memberi informasi atau petunjuk pada seseorang untuk
mengakhiri hidupnya sendiri. Jika aksi ini dilakukan oleh dokter maka disebut
juga, “physician assisted
suicide”.
5.
Euthanasia dengan aksi : Dengan
sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan melakukan suatu aksi, salah satu
contohnya adalah dengan melakukan suntik mati.
6.
Euthanasia dengan penghilangan :
Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan menghentikan semua
perawatan khusus yang dibutuhkan seorang pasien. Tujuannya adalah agar pasien
itu dapat dibiarkan meninggal secara wajar.
2.
Euthanasia Menurut Hukum
Prinsip
umum UU Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan masalah jiwa manusia adalah
memberikan perlindungan, sehingga hak untuk hidup secara wajar sebagaimana
harkat kemanusiaannya menjadi terjamin.
Di dalam
pasal 344 KUHP dinyatakan : “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”.
Berdasarkan
pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum, apabila ia
melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang
bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
Mungkin saja
dokter atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 ini, tetapi ia tidak bisa
melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi : “Barang siapa dengan
sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan
hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun”. Dokter bisa diberhentikan dari
jabatannya, karena melanggar kode etik kedokteran. Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983 pasal 10 menyebutkan : “Setiap dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajibannya untuk melindungi ‘hidup’ makhluk
insani”.
Di sini jelas sekali bahwa dari segi pandang hukum di
Indonesia tindakan euthanasia tidak diperkenankan.
3.
Euthanasia Menurut Agama Islam
1. Kedudukan
jiwa dalam Islam
Islam sangat
menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup banyak ayat Al-Qur’an
maupun hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan memelihara jiwa
manusia (hifzh al nafs). Jiwa,
meskipun merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT.
Di antara firman-firman Allah SWT yang menyinggung
soal jiwa atau “nafs” itu adalah :
·
Surat Al-Hijr ayat 23 :
Artinya :
“Dan sesungguhnya benar-benar kami-lah
yang menghidupkan dan mematikan, dan kami (pulalah) yang mewarisi”.
·
Surat Al-Najm ayat 44 :
Artinya :
“Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang
mematikan dan menghidupkan”.
Tindakan
merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri
adalah perbuatan melawan hukum Allah. Begitu besarnya penghargaan Islam
terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa
manusia, diancam dengan hukuman yang setimpal (qishash atau diyat)
2.
Euthanasia dalam hubungannya dengan jarimah mati
Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum
adalah :
1.
“Nash”
yang melarang perbuatan itu dan memberikan ancaman hukuman terhadapnya. Ini
disebut sebagai unsur formal (rukun
syar’i).
2.
“Tindakan” yang membentuk suatu perbuatan
jarimah, baik perbuatan nyata maupun sikap “tidak berbuat”. Unsur ini disebut
unsur material (rukun maddi).
3.
“Pelaku” yang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung-jawaban terhadap
jarimah yang dilakukannya. Ini disebut unsur moral (rukun abadi).
Dari segi
nash Islam memang secara tegas melarang pembunuhan. Aspek tindakan sebagai
unsur kedua sudah jelas ada. Karena biasanya upaya untuk mengurangi beban
pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi saraf
dalam dosis tertentu (neurasthenia).
Terjadinya
euthanasia aktif tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan berikut :
1.
Dari pihak pasien, yang meminta kepada
dokter karena merasa tidak tahan lagi menderita sakit karena penyakit yang
dideritanya terlalu gawat dan sudah lama. Pasien juga mempertimbangkan masalah
ekonomi. Atau pasien sudah tahu bahwa ajalnya sudah dekat, harapan untuk sembuh
terlalu jauh, maka supaya matinya tidak merasa sakit, dia meminta jalan yang
lebih “nyaman” yaitu melalui euthanasia.
2.
Dari pihak keluarga/wali, yang merasa
kasihan atas penderitaan pasien.
3.
k“Kemungkinan lain” bisa terjadi, bahwa
pihak keluarga bekerjasama dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien.
Masalahnya
adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang bisa/boleh dihabisi.
Untuk ini Allah telah menggariskannya melalui firman-Nya dalam surat Al-Isra
ayat 33 (juga Al-An’am : 151).
Artinya :
“Dan
jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar”.
Syeikh
Ahmad Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa pembunuhan (mengakhiri hidup)
seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari 3 sebab :
1.
Karena
pembunuhan oleh salah seseorang secara zalim.
2.
Janda
secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi.
3.
Orang yang
keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jama’ah Islam.
Sakit
adalah satu bentuk uji kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan
dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia (aktif). Syeikh Muhammad
Yusuf al-Qardhawi mengatakan, bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik
pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya). Oleh karena itu
ia tidak boleh diabaikan, apalagi dilepaskan dari kehidupannya.
Islam
tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawanya hanya karena
ada musibah. Seorang mukmin diciptakan justru untuk berjuang, bukan untuk lari
dari kenyataan. Dalam hal ini Syeikh Mahmud Syaltut memberikan pembahasan yang
ringkasnya bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan
disuruh sendiri oleh si korban atau oleh walinya. Bahwa perintah korban dapat
menggugurkan qishash terhadap pelaku.
Mempercepat
kematian tidak dibenarkan. Tugas dokter adalah menyembuhkan, bukan membunuh.
Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan kepada keluarga.
4.
Masalah Etika pada Euthanasia
Tuhan jelas melarang manusia membunuh dirinya sendiri, atau orang
lain melakukannya. Hidup dan mati semuanya di Tangan Tuhan, meskipun manusia,
termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya dengan segala ilmu dan teknologi
yang dikuasainya, berusaha menolong seorang pasien, tetapi semuanya Tuhan yang
akan menentukan. Di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia dan lafal sumpah
Dokter dinyatakan bahwa dokter mempunyai tugas dan kewajiban untuk melindungi
hidup makhluk insani mulai dari saat pembuahan, dan dokter harus membaktikan
hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan.
Pasien mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang penyakitnya, pengobatan dan prognosisnya, dan berdasarkan informasi menolak pertolongan atau perawatan oleh seorang dokter. Antara etik kedokteran yang digunakan sebagai landasan tugas dan kewajiban dokter dan hak asasi pasien untuk memilih perawatan kesehatannya tersebut, kadang-kadang menimbulkan masalah antara lain dalam masalah euthanasia ini sudah sejak lama terdapat masalah bagi dokter dalam menghadapi keadaan dari segi medis tidak ada harapan dalam situasi yang demikian ini, tidak jarang pasien meminta agar dibebaskan dari segala penderitaan dan tidak menginginkan diperpanjang hidupnya atau dilain keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga pasien yang tidak sampai hati melihat penderitaan pasien menjelang ajalnya meminta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah muncul istilah euthanasia, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan, atau mati secara “enak” menurut versi pasien/keluarga pasien yang menginginkannya. Meskipun euthanasia ini berlaku untuk semua makhluk hidup, tetapi biasanya hanya yang berkaitan dengan perawatan kesehatan, atau yang ada kaitannya dengan perawatan manusia.
Dari segi moral yang penting adalah bahwa penyebab kematian adalah penyakit yang diderita oleh pasien, dan bukan perbuatan keluarga dan tim pelayanan kesehatan. Aplikasi dari teknologi medis yang terus menerus berkembang menimbulkan masalah yang mengandung berbagai dilema etis. Respirator dan mesin dialisis tentu mahal, tetapi bagi orang yang ingin memperpanjang hidupnya terapi (pengobatan) semacam ini mungkin merupakan terapi yang biasa saja. Dilema etis moral lainnya adalah apakah boleh orang tidak melakukan sesuatupun, sedangkan diketahui bahwa sebagai akibatnya akan timbul keadaan yang membawa kematian.
Disini penting pula maksud pelaku : tidak memberikan pengobatan
yang kurang berguna atau terlalu membebani keluarga dalam hal pembiayaan dan
bukan bermaksud mengakibatkan kematian secara langsung.
Dilema etis yang lain adalah adanya perbedaan antara berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Seringkali orang merasa bahwa menghentikan suatu terapi yang sudah dimulai adalah bertindak, sedangkan tidak memualai ksuatu terapi mirip dengan perbuatan yang tidak bertindak. Pada umumnya dikatakan bahwa argumen moral untuk keduanya adalah jelas sama.
Artinya alasan-alasan untuk tidak memulai dengan respirator
seringkali sama dengan alasan-alasan untuk menghentikannya. Walaupun sering kebanyakan
orang akan lebih setuju mengenai sesuatu terapi yang tidak banyak bermanfaat
bagi kesembuhan pasien, mungkin silang pendapat akan timbul tentang tepat
tidaknya menghentikan terapi itu, karena orang lain yang tidak berbuat sesuatu
untuk pasien. Disinilah akhirnya timbul masalah etik yaitu ketika mengevaluasi
manfaat dan beban terapi bagi si pasien atau keluarganya.
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.” Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya.
Dalam pasal 9, bab II Kode
Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan
bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak
diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan
dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan
mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungksi otaknya sama sekali,
maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih
berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang
berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal
itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman,
selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan
kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk
melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan
bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di
Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan
bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula
dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah
menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan
radikal dengan hakikat itu.
Namun, beberapa ahli hukum
juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan medis yang tidak ada
gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini berkaitan
dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di
luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi dokter
tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai
tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis.
5.
Pro dan Kontra Euthanasia
Masalah euthanasia
menimbulkan pro dan kontra. Ada sebagian orang yang menyetujui euthanasia ini.
Sebagian pihak lain menolaknya. Dalam hal ini tampak adanya batasan karena
adanya sesuatu yang mutlak berasal dari Tuhan dan batasan karena adanya hak
asasi manusia. Pembicaraan mengenai euthanasia tidak akan memperoleh suatu
kesatuan pendapat etis sepanjang masa. Secara sederhana, perdebatan euthanasia
dapat diringkas sbb: atas nama perhormatan terhadap otonomi manusia, manusia
harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya
ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi
pengakhiran penderitaan yang tidak berguna. Apakah pengakhiran hidup macam itu
bisa dibenarkan?
Pro Euthanasia
Kelompok ini menyatakan
bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan, dengan tujuan utama
menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi pedoman kelompok
ini adalah pendapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi,
tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan pasien. Argumen yang paling
sering digunakan adalah argumen atas dasar belas kasihan terhadap mereka yang
menderita sakit berat dan secara medis tidak mempunyai harapan untuk pulih.
Argumen pokok mereka adalah pemahaman bahwa kematian menjadi jalan yang dipilih
demi menghindari rasa sakit yang luar biasa dan penderitaan tanpa harapan si
pasien. Argumen kedua adalah perasaan hormat atau agung terhadap manusia yang
ada hubungannya dengan suatu pilihan yang bebas sebagai hak asasi. Setiap orang
memiliki hak asasi. Di dalamnya termasuk hak untuk hidup maupun hak untuk mati.
Kontra Euthanasia
Setiap orang menerima
prinsip nilai hidup manusia. Orang-orang tidak beragama pun, yang tidak
menerima argumen teologis mengenai kesucian hidup, setuju bahwa hidup manusia
itu sangat berharga dan harus dilindungi. Mereka setuju bahwa membunuh orang
adalah tindakan yang salah. Bagi mereka, euthanasia adalah suatu pembunuhan
yang terselubung. Bagi orang beragama, euthanasia merupakan tindakan immoral
dan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Mereka berpendapat bahwa hidup adalah
semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga tidak ada seorang pun atau
institusi manapun yang berhak mencabutnya, bagaimanapun keadaan penderita
tersebut. Dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak memiliki
hak untuk mati.
Penolakan euthanasia ini
berkaitan erat dengan penolakan abortus atas dasar argumen “kesucian hidup”.
Karena kehidupan itu sendiri berharga, maka hidup manusia tidak pernah boleh
diakhiri dalam keadaan apa pun juga. Banyak orang menolak euthanasia langsung
atau aktif karena takut akan “menginjak lereng licin” (the slippery slope).
Jika kita boleh membunuh orang yang sedang dalam proses meninggal dunia atau
pasien koma yang irreversible maka bisa jadi kita akan memperluas
pengertian dan mulai membunuh bayi yang baru lahir, mereka yang sakit jiwa,
anak cacat mental, orang yang tidak produktif atau secara sosial tidak
diinginkan. Begitu batas-batas untuk membunuh diperluas, tidak ada lagi orang
yang aman.
Argumen yang lain adalah
argumen berdasarkan ihwal mengasihi diri sendiri. Ihwal mengasihi diri sendiri
secara bertanggung jawab melarang euthanasia. “Memberikan kehidupan sebagai
hadiah dan korban bagi kehidupan orang lain dapat dibenarkan, sementara
menyebabkan kematian secara langsung karena kesulitan pribadi tidak
dibenarkan”. Dasar bagi larangan tersebut adalah panggilan Allah atas manusia
agar mewujudkan potensi dirinya dan mencapai kepenuhan diri. Manusia juga harus
terbuka terhadap horizon makna ini, juga dalam situasi kemalangan, sakit,
penderitaan, yang dapat mendorongnya untuk melakukan bunuh diri, karena
kehidupan fisik manusia selalu ditopang dan dilindungi Allah yang menjamin
makna hidup.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Yang berhak mengakhiri hidup seseorang
hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara
dan alasan yang bertentangan dengan ketentuan agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan bunuh diri,
yang diharamkan dan diancam Allah dengan hukuman neraka selama-lamanya.
2. Euthansia dalam kode etik para ahli
kesehatan ini merupakan suatu dilema etik dan moral.Dimana para tenaga medis
dihadapkan dengan pilihan sulit, antara menyelamatkan pasien dan permintaan
dari pihak pasien secara langsung dan tidak langsung. Tapi tetap saja tindakan
euthanasia ini tidak diperkenankan menurut kode etik tenaga kesehatan profesi
apapun
3. Euthanasia sampai sekarang masih belum ada
titik temu baik dari segi pandang agama, hukum, maupun etika. Dalam hal ini
boleh tidaknya tindakan euthanasia dilakukan masih diperbincangkan oleh para
ahli dibidangnya masing - masing, baik yang mengatakan pro maupun yang kontra.
B.
Saran
Untuk menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya
euthanasia ini, perlu kiranya dikemukakan saran-saran berikut :
1. Jika pertimbangan kemampuan untuk
memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak memungkinkan lagi, baik karena
biaya maupun karena rumah sakit yang lebih lengkap terlalu jauh, maka dapat
dilakukan dua cara :
a.
Menghentikan
perawatan/pengobatan, artinya membawa pasien pulang ke rumah.
b. Membiarkan pasien dalam perawatan
seadanya, tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.
2. Umat Islam diharapkan tetap berpegang
teguh pada kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk menderita sakit)
sebagai ketentuan yang datang dari Allah.
3. Para dokter diharapkan tetap berpegang
pada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya, sehingga tindakan yang
mengarah kepada percepatan proses kematian bisa dihindari.