Selasa, 05 Juni 2012

ETIKA EUTHANASIA







BAB I
PENDAHULUAN


Seiring dengan perkembangan dunia yang semakin maju dan peradaban manusia yang gemilang sebagai refleksi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan hukum kemasyarakatan dunia bisa bergeser sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati kedudukan yang tinggi. Apabila terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, interpretasi terhadap hukum juga bisa berubah.

Hal tersebut di atas juga diakibatban oleh gerakan kebebasan, masyarakat barat yang menganut sistem demokrasi liberal dimana hak individu sangat dijunjung tinggi dan nilai-nilai moral telah terlepas dari poros agama, ditandai dengan berkembangnya paham sekularisme. Siapapun (termasuk pemerintah) tidak boleh mencampuri dan mengganggu hak individu.

Masalah euthanasia telah lama dipertimbangkan oleh kalangan kedokteran dan para praktisi hukum di negara-negara barat. Pro dan kontra terhadap euthanasia itu masih berlangsung ketika dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan mati itu hak siapa dan dari sudut mana ia harus melihat. Dalam uraian yang akan disampaikan berikut ini akan disampaikan pembahasan mengenai euthanasia termasuk pandangan mengenai euthanasia meurut beberapa pihak.






















BAB II
PEMBAHASAN


1.      Pengertian Euthanasia dan Macam-macamnya

 Euthanasia berasal dari kata Yunani eu : baik dan thanatos : mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit.
Euthanasia sering disebut : mercy killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar).

Tindakan euthanasia dikategorikan menjadi 2 :

1.      Euthanasia aktif adalah : suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti : melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lain-lain. Yang termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini adalah : jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup. Tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan.

2.      Euthanasia pasif adalah : suatu tindakan membiarkan pasien/penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah seperti : bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah terlalu tinggi, tidak berfungsinya jantung.

3.      Auto-euthanasia, artinya seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.

Macam – macam euthanasia :

1.      Euthanasia sukarela : Apabila si pasien itu sendiri yang meminta untuk diakhiri hidupnya.Misalnya dengan menolak perawatan medis, meminta perawatannya dihentikan atau mesin pendukung kehidupannya dimatikan atau menolak untuk makan.
2.      Euthanasia non-sukarela : Apabila pesien tersebut tidak mengajukan permintaan atau menyetujui untuk diakhiri hidupnya.Ini terjadi ketika pasien sadar atau tidak, sehingga ada orang lain yang mengambil keputusan atas namanya.Euthanasia non-sukarela bisa terjadi pada kasus-kasus seperti pasien sedang koma, pasien terlalu muda (misalnya bayi), orang pikun, mengalami keterbelakangan mental yang sangat parah atau gangguan otak parah.
3.      Involuntary Euthanasia : Pada prinsipnya sama seperti euthanasia non-sukarela, tapi pada kasus ini, si pasien menunjukkan permintaan euthanasia lewat ekspresi.
4.      Assisted suicide (bunuh diri dengan bantuan) : Atau bisa dikatakan proses bunuh diri dengan bantuan suatu pihak. Seseorang memberi informasi atau petunjuk pada seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Jika aksi ini dilakukan oleh dokter maka disebut juga, physician assisted suicide.
5.      Euthanasia dengan aksi : Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan melakukan suatu aksi, salah satu contohnya adalah dengan melakukan suntik mati.
6.      Euthanasia dengan penghilangan : Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan menghentikan semua perawatan khusus yang dibutuhkan seorang pasien. Tujuannya adalah agar pasien itu dapat dibiarkan meninggal secara wajar.

                                                                                                           

2.      Euthanasia Menurut Hukum

     Prinsip umum UU Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan masalah jiwa manusia adalah memberikan perlindungan, sehingga hak untuk hidup secara wajar sebagaimana harkat kemanusiaannya menjadi terjamin.
     Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan : “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”.
     Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum, apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
    Mungkin saja dokter atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 ini, tetapi ia tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun”. Dokter bisa diberhentikan dari jabatannya, karena melanggar kode etik kedokteran. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983 pasal 10 menyebutkan : “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya untuk melindungi ‘hidup’ makhluk insani”.
Di sini jelas sekali bahwa dari segi pandang hukum di Indonesia tindakan euthanasia tidak diperkenankan.





3.      Euthanasia Menurut Agama Islam

   1. Kedudukan jiwa dalam Islam

   Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup banyak ayat Al-Qur’an maupun hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifzh al nafs). Jiwa, meskipun merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT.
Di antara firman-firman Allah SWT yang menyinggung soal jiwa atau “nafs” itu adalah :

·         Surat Al-Hijr ayat 23 :
Artinya :
“Dan sesungguhnya benar-benar kami-lah yang menghidupkan dan mematikan, dan kami (pulalah) yang mewarisi”.

·         Surat Al-Najm ayat 44 :
Artinya :
“Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang mematikan dan menghidupkan”.

    Tindakan merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah. Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa manusia, diancam dengan hukuman yang setimpal (qishash atau diyat)

2.      Euthanasia dalam hubungannya dengan jarimah mati

Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah :

1.      Nash” yang melarang perbuatan itu dan memberikan ancaman hukuman terhadapnya. Ini disebut sebagai unsur formal (rukun syar’i).
2.      “Tindakan” yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatan nyata maupun sikap “tidak berbuat”. Unsur ini disebut unsur material (rukun maddi).
3.      “Pelaku” yang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung-jawaban terhadap jarimah yang dilakukannya. Ini disebut unsur moral (rukun abadi).

       Dari segi nash Islam memang secara tegas melarang pembunuhan. Aspek tindakan sebagai unsur kedua sudah jelas ada. Karena biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi saraf dalam dosis tertentu (neurasthenia).
       Terjadinya euthanasia aktif tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan berikut :

1.      Dari pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan lagi menderita sakit karena penyakit yang dideritanya terlalu gawat dan sudah lama. Pasien juga mempertimbangkan masalah ekonomi. Atau pasien sudah tahu bahwa ajalnya sudah dekat, harapan untuk sembuh terlalu jauh, maka supaya matinya tidak merasa sakit, dia meminta jalan yang lebih “nyaman” yaitu melalui euthanasia.
2.      Dari pihak keluarga/wali, yang merasa kasihan atas penderitaan pasien.
3.      k“Kemungkinan lain” bisa terjadi, bahwa pihak keluarga bekerjasama dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien.

      Masalahnya adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang bisa/boleh dihabisi. Untuk ini Allah telah menggariskannya melalui firman-Nya dalam surat Al-Isra ayat 33 (juga Al-An’am : 151).
Artinya :
“Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.
      Syeikh Ahmad Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa pembunuhan (mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari 3 sebab :

1.      Karena pembunuhan oleh salah seseorang secara zalim.
2.      Janda secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi.
3.      Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jama’ah Islam.

       Sakit adalah satu bentuk uji kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia (aktif). Syeikh Muhammad Yusuf al-Qardhawi mengatakan, bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya). Oleh karena itu ia tidak boleh diabaikan, apalagi dilepaskan dari kehidupannya.
      Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawanya hanya karena ada musibah. Seorang mukmin diciptakan justru untuk berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan. Dalam hal ini Syeikh Mahmud Syaltut memberikan pembahasan yang ringkasnya bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan disuruh sendiri oleh si korban atau oleh walinya. Bahwa perintah korban dapat menggugurkan qishash terhadap pelaku.
       Mempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas dokter adalah menyembuhkan, bukan membunuh. Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan kepada keluarga.


4.      Masalah Etika pada Euthanasia

Tuhan jelas melarang manusia membunuh dirinya sendiri, atau orang lain melakukannya. Hidup dan mati semuanya di Tangan Tuhan, meskipun manusia, termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya dengan segala ilmu dan teknologi yang dikuasainya, berusaha menolong seorang pasien, tetapi semuanya Tuhan yang akan menentukan. Di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia dan lafal sumpah Dokter dinyatakan bahwa dokter mempunyai tugas dan kewajiban untuk melindungi hidup makhluk insani mulai dari saat pembuahan, dan dokter harus membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan.

Pasien mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang penyakitnya, pengobatan dan prognosisnya, dan berdasarkan informasi menolak pertolongan atau perawatan oleh seorang dokter. Antara etik kedokteran yang digunakan sebagai landasan tugas dan kewajiban dokter dan hak asasi pasien untuk memilih perawatan kesehatannya tersebut, kadang-kadang menimbulkan masalah antara lain dalam masalah euthanasia ini sudah sejak lama terdapat masalah bagi dokter dalam menghadapi keadaan dari segi medis tidak ada harapan dalam situasi yang demikian ini, tidak jarang pasien meminta agar dibebaskan dari segala penderitaan dan tidak menginginkan diperpanjang hidupnya atau dilain keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga pasien yang tidak sampai hati melihat penderitaan pasien menjelang ajalnya meminta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah muncul istilah euthanasia, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan, atau mati secara “enak” menurut versi pasien/keluarga pasien yang menginginkannya. Meskipun euthanasia ini berlaku untuk semua makhluk hidup, tetapi biasanya hanya yang berkaitan dengan perawatan kesehatan, atau yang ada kaitannya dengan perawatan manusia.

Dari segi moral yang penting adalah bahwa penyebab kematian adalah penyakit yang diderita oleh pasien, dan bukan perbuatan keluarga dan tim pelayanan kesehatan. Aplikasi dari teknologi medis yang terus menerus berkembang menimbulkan masalah yang mengandung berbagai dilema etis. Respirator dan mesin dialisis tentu mahal, tetapi bagi orang yang ingin memperpanjang hidupnya terapi (pengobatan) semacam ini mungkin merupakan terapi yang biasa saja. Dilema etis moral lainnya adalah apakah boleh orang tidak melakukan sesuatupun, sedangkan diketahui bahwa sebagai akibatnya akan timbul keadaan yang membawa kematian.

Disini penting pula maksud pelaku : tidak memberikan pengobatan yang kurang berguna atau terlalu membebani keluarga dalam hal pembiayaan dan bukan bermaksud mengakibatkan kematian secara langsung.

Dilema etis yang lain adalah adanya perbedaan antara berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Seringkali orang merasa bahwa menghentikan suatu terapi yang sudah dimulai adalah bertindak, sedangkan tidak memualai ksuatu terapi mirip dengan perbuatan yang tidak bertindak. Pada umumnya dikatakan bahwa argumen moral untuk keduanya adalah jelas sama.

Artinya alasan-alasan untuk tidak memulai dengan respirator seringkali sama dengan alasan-alasan untuk menghentikannya. Walaupun sering kebanyakan orang akan lebih setuju mengenai sesuatu terapi yang tidak banyak bermanfaat bagi kesembuhan pasien, mungkin silang pendapat akan timbul tentang tepat tidaknya menghentikan terapi itu, karena orang lain yang tidak berbuat sesuatu untuk pasien. Disinilah akhirnya timbul masalah etik yaitu ketika mengevaluasi manfaat dan beban terapi bagi si pasien atau keluarganya.

Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.” Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya.
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungksi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu.

Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis.


5.      Pro dan Kontra Euthanasia
Masalah euthanasia menimbulkan pro dan kontra. Ada sebagian orang yang menyetujui euthanasia ini. Sebagian pihak lain menolaknya. Dalam hal ini tampak adanya batasan karena adanya sesuatu yang mutlak berasal dari Tuhan dan batasan karena adanya hak asasi manusia. Pembicaraan mengenai euthanasia tidak akan memperoleh suatu kesatuan pendapat etis sepanjang masa. Secara sederhana, perdebatan euthanasia dapat diringkas sbb: atas nama perhormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna. Apakah pengakhiran hidup macam itu bisa dibenarkan?

 Pro Euthanasia
Kelompok ini menyatakan bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan, dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi pedoman kelompok ini adalah pendapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi, tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan pasien. Argumen yang paling sering digunakan adalah argumen atas dasar belas kasihan terhadap mereka yang menderita sakit berat dan secara medis tidak mempunyai harapan untuk pulih. Argumen pokok mereka adalah pemahaman bahwa kematian menjadi jalan yang dipilih demi menghindari rasa sakit yang luar biasa dan penderitaan tanpa harapan si pasien. Argumen kedua adalah perasaan hormat atau agung terhadap manusia yang ada hubungannya dengan suatu pilihan yang bebas sebagai hak asasi. Setiap orang memiliki hak asasi. Di dalamnya termasuk hak untuk hidup maupun hak untuk mati.

 Kontra Euthanasia
Setiap orang menerima prinsip nilai hidup manusia. Orang-orang tidak beragama pun, yang tidak menerima argumen teologis mengenai kesucian hidup, setuju bahwa hidup manusia itu sangat berharga dan harus dilindungi. Mereka setuju bahwa membunuh orang adalah tindakan yang salah. Bagi mereka, euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung. Bagi orang beragama, euthanasia merupakan tindakan immoral dan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Mereka berpendapat bahwa hidup adalah semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga tidak ada seorang pun atau institusi manapun yang berhak mencabutnya, bagaimanapun keadaan penderita tersebut. Dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak memiliki hak untuk mati.

Penolakan euthanasia ini berkaitan erat dengan penolakan abortus atas dasar argumen “kesucian hidup”. Karena kehidupan itu sendiri berharga, maka hidup manusia tidak pernah boleh diakhiri dalam keadaan apa pun juga. Banyak orang menolak euthanasia langsung atau aktif karena takut akan “menginjak lereng licin” (the slippery slope). Jika kita boleh membunuh orang yang sedang dalam proses meninggal dunia atau pasien koma yang irreversible maka bisa jadi kita akan memperluas pengertian dan mulai membunuh bayi yang baru lahir, mereka yang sakit jiwa, anak cacat mental, orang yang tidak produktif atau secara sosial tidak diinginkan. Begitu batas-batas untuk membunuh diperluas, tidak ada lagi orang yang aman.

Argumen yang lain adalah argumen berdasarkan ihwal mengasihi diri sendiri. Ihwal mengasihi diri sendiri secara bertanggung jawab melarang euthanasia. “Memberikan kehidupan sebagai hadiah dan korban bagi kehidupan orang lain dapat dibenarkan, sementara menyebabkan kematian secara langsung karena kesulitan pribadi tidak dibenarkan”. Dasar bagi larangan tersebut adalah panggilan Allah atas manusia agar mewujudkan potensi dirinya dan mencapai kepenuhan diri. Manusia juga harus terbuka terhadap horizon makna ini, juga dalam situasi kemalangan, sakit, penderitaan, yang dapat mendorongnya untuk melakukan bunuh diri, karena kehidupan fisik manusia selalu ditopang dan dilindungi Allah yang menjamin makna hidup.










BAB III
PENUTUP


A.     Kesimpulan
Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara dan alasan yang bertentangan dengan ketentuan agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan bunuh diri, yang diharamkan dan diancam Allah dengan hukuman neraka selama-lamanya.
2.      Euthansia dalam kode etik para ahli kesehatan ini merupakan suatu dilema etik dan moral.Dimana para tenaga medis dihadapkan dengan pilihan sulit, antara menyelamatkan pasien dan permintaan dari pihak pasien secara langsung dan tidak langsung. Tapi tetap saja tindakan euthanasia ini tidak diperkenankan  menurut kode etik tenaga kesehatan profesi apapun
3.      Euthanasia sampai sekarang masih belum ada titik temu baik dari segi pandang agama, hukum, maupun etika. Dalam hal ini boleh tidaknya tindakan euthanasia dilakukan masih diperbincangkan oleh para ahli dibidangnya masing - masing, baik yang mengatakan pro maupun yang kontra.

B.      Saran
Untuk menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya euthanasia ini, perlu kiranya dikemukakan saran-saran berikut :
1.      Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak memungkinkan lagi, baik karena biaya maupun karena rumah sakit yang lebih lengkap terlalu jauh, maka dapat dilakukan dua cara :
a.      Menghentikan perawatan/pengobatan, artinya membawa pasien pulang ke rumah.
b. Membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.
2.      Umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah.
3.      Para dokter diharapkan tetap berpegang pada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan proses kematian bisa dihindari.

Tidak ada komentar:

Yang Populer